Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku Cewek Sendirian

1 Mei 2021   00:11 Diperbarui: 1 Mei 2021   00:13 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.brilio.net/

Mampir menemui diaryku setelah lama aku tak bercerita.  Tetapi, kali ini aku ingin berbagi seru tentang masa sekolah.  Bingung mau memulai dari mana, karena semuanya seru.  

Maklum, masa sekolahku berpindah dari satu provinsi ke provinsi lain mengikuti bapak yang dimutasi.  Bahkan aku pernah bersekolah di sekolah yang muridnya perempuan semua.  

Kebayang dong, serunya kami ketika bertemu dengan lawan jenis.  Hahaha...malu-maluin memang.  Inilah yang mungkin kejadian dengan diriku ketika pindah ke Kalimantan saat usia SMP semester akhir.

Serunya aku sebagai murid baru, dan langsung berbaur dengan cepat.  Kemudian, lanjut diterima di sebuah SMA favorit di Kota Balikpapan berkat kesaktian nilaiku yang mulus.  

Bangga, so pasti!  Tiga sahabatku cowok dari SMP sama juga diterima di SMA tersebut.  Kami yang dulu di SMP dikenal "agak" bandel, tetapi terbukti sakti.  Hahaha...

Begini, kami ini berlima, dan katakanlah mereka gengku ketika di SMP.  Tetapi, seorang lagi pindah ke Jakarta.  Horornya, aku satu-satunya cewek diantara mereka.  Penasaran, apakah aku tomboy?

Enggak tuh, karena aku bisa dikatakan perempuan banget.  Pembedanya, aku super cuek dan tidak baperan.  Hahah...iya, prinsipku tidak peduli orang mau ngomongin apapun terserah.  

Bagiku, apapun yang aku lakukan adalah dengan tanggungjawab.  Istilahnya, berani berbuat, berani bertanggungjawab.  Begitulah bapak dulu membesarkanku, yang dinamainya "kebebasan yang bertanggungjawab."

Maka di SMA kami berempat terpisah kelas.  Seingatku, aku sekelas dengan Niko, sedangkan Pieter dan Engelson mereka juga sekelas.  

Yup, aku memang sangat mengingat nama mereka karena banyak cerita seru ketika di SMP.  Salah satunya, hobi tawuran di SMP, dan aku ibarat tiang doa untuk mereka.  "Kamu pulang saja, dan doakan sekolah kita menang."

Hahah...emangnya aku doakan?  Yah...enggaklah... karena aku mengadu kepada bapak, menyebutkan lokasi tawuran mereka.  Lalu bubarlah hajatan mereka, dan lucunya mereka tidak pernah marah kepadaku.  Hahahh...begitulah persahabatan kami hingga akhirnya kami diterima di SMA yang sama, kecuali Firman yang terpisah dari kami.

Masa SMA selalu menjadi masa terbaik untuk dikenang, kata orang sih begitu.  Aku setuju, terlebih untuk aku yang super cuek ini.  Heheh...

Teringat repotnya mereka mengurus dan menjagaku, cewek satu-satunya di geng mereka, "Nggak bisakah kamu bersikap seperti cewek pada umumnya? Ngapain juga kamu ikutan pencinta alam, lalu masuk sekolah dengan kulit terkelupas bekas sengatan matahari?"

Yoi, aku memang tergabung di group pencinta alam sekolah, dan juga Pramuka.  Dua kegiatan yang aku sukai, dan sering membuatku harus berkemah, melintasi hutan, dan lagi-lagi di group pencinta alam hanya dua perempuannya!  Maka berisiklah gengku setiap kali aku pamit, "Bro...aku besok mau naik gunung."

Satu hal lucu yang selalu membuatku rindu kepada mereka, adalah ketika seorang sahabat kami membuat pesta ulang tahun ke 17.  

Ehhmmm....paham dong, semua pasti akan tampil maksimal.  Apalagi teman-teman cewekku, wow...mereka datang dengan make-up dan highhell alias sepatu hak tinggi!

Aku juga mencoba melakukan hal yang sama, dengan memijam sepatu hak tinggi mama.  Lalu tampillah aku dihadapan mereka dengan dianter supir kantor bapak.  Mata mereka begitu kagum, dan ramai menggodaku, "Nah begitu dong, jadi kelihatan manisnya!"

Kami berjalan berempat di pelataran hotel tempat acara teman kami diadakan.  Setengah modar aku berjalan dengan hati-hati karena takut jatuh.  Tetapi, uuppsss...langkahku terhenti tak bergerak!

"Hei..ngapain jongkok begitu, roknya kena tanah itu," teriak Engelson dan Pieter menganggetkan, karena aku tertinggal oleh mereka.  Sementara Niko sedang mencoba melepaskan hak sepatuku yang masuk di jeruji besi penutup gorong-gorong.  

Singkat cerita, kami berempat akhirnya ngakak bareng, sambil sibuk melepaskan highhellku.  Nggak lucu dong kalau aku masuk ke lobby hotel dengan kaki telanjang.   Hahah...

Banyak cerita manis dan seru dari persahabatan kami.  Juga ketika aku merasa bosan menjadi anak baik.  Maklum, dulu setiap pulang sekolah selalu supir kantor sudah menunggu di gerbang sekolah, dan mencidukku dibawa pulang tanpa kompromi.  Nggak seru, aku kepingin pulang dengan angkot seperti anak lain, pikirku.

Kerinduan konyolku ini diwujudkan oleh 3 cowok sahabatku ini.  Lalu mereka mengalihkan supirku, sementara aku keluar kelas dengan melompat jendela.  

Kemudian dengan bahagia aku pulang ditemani Niko dengan angkot.  Hahaha...sesederhana itu, aku hanya mau pulang dengan angkot.  Rasanya seru saja, karena merasa seperti orang pada umumnya.

Mungkin diary  bertanya, adakah cinta diantara kami?  Jawabannya tidak ada sama sekali!  Bahkan hingga akhirnya aku pindah ke Jakarta di semester akhir kelas 3 mengikuti tugas bapak.  Berat hati kami pun akhirnya terpisah oleh waktu hingga belasan tahun.

Tetapi, waktu juga yang mempertemukan kami secara tidak sengaja sekitar 10 tahun lalu.  Kami yang kini telah memiliki keluarga.  Niko kini tinggal di Sulawesi, Engelson dan Peter di Bandung.  Lalu kemana Firman?

Firman di Jakarta, tetapi dia telah lebih dulu berpulang karena kanker usus.  Bapak yang kebetulan bertemu Om Soeroso, papanya di sebuah rumah sakit, karena mereka memang bersahabat.  Hanya pusara Firman yang kini menemani persahabatan kami berempat.

Aku saja yang di Jakarta belum cukup keberanian untuk menyambangi pusaranya.  Demikian juga tiga sahabatku ini.  "Nggak sanggup," kata mereka tersendat saat aku memberitahu via telepon.  Iya, kami berlima memang sangat dekat.  Sehingga tidak sanggup untuk melihat pusara sahabat kami Firman.

Kami akhirnya memilih untuk sesekali menyempatkan diri menelpon Tante Soeroso.  Mengobati kerinduannya kepada Firman, karena tante tahu dulu kami satu geng.  

Bandel iya, tetapi mengejar cita-cita tetap menjadi prioritas kami.  Firman bahkan sempat membuka kantor pengacara sebelum maut menjemputnya, begitu kata tante.

Kini kami tinggal berempat, aku dan tiga sahabat cowokku.  Saling berbagi kabar, suka maupun duka, walau dipisahkan oleh jarak.  "Best friend forever, siapa tahu bisa jadi besan."  Begitu canda mereka.

Begitu diary, ceritaku tentang gengku.  Tentang persahabatku yang tak lekang oleh waktu.  Titip kusimpan disini, kepada kamu kertasku tak bergaris.

Jakarta, 30 April 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun