Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perempuan dan Kesehatan Mental

30 April 2021   20:38 Diperbarui: 30 April 2021   20:54 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.qureta.com/

Menurutku, menjadi ibu adalah sebuah kehormatan.  Terlepas karena melahirkan keturunannya sendiri ataupun tidak.  Kenapa demikian, sebab anak adalah berkat terindah dari Dia pemilik isi bumi ini.  Tetapi lucunya, perempuan sering disudutkan karena ketidakmampuan memberikan keturunan.  Serupa tapi tak sama pun ketika seorang ibu dianggap "gagal" membesarkan dan mendidik anak.  Jelas, ini sangat tidak adil.  Seolah seluruh "dosa" tersebut dianggap pantas dibebankan kepada mereka yang kebetulan terlahir sebagai perempuan, dan menjadi seorang istri atau seorang ibu. 

Ini mengingatkan ketika pernikahan berbeda dengan masa pacaran.  Dimana dua sejoli berbeda karakter bersepakat menjadi satu membentuk keluarga. Menerima kelebihan dan kekurangan untuk saling melengkapi.  Tetapi mirisnya, masyarakat masih banyak yang menilai perempuanlah yang tidak beres jika sebuah keluarga berantakan.  Apalagi jika menyangkut urusan anak.  Padahal, ada suami atau ayah hal ini.

Sangatlah timpang, terlebih dalam perkawinan di era modern seperti sekarang ini.  Ketika perempuan juga berhak menggali potensi dirinya, dan tidak semata menjadi (maaf) pembantu bagi suami atau mungkin anaknya.  Terpasung dengan perkawinan, mungkin inilah bahasaku.

Inilah kondisi yang sering dialami perempuan pada umumnya ketika menjadi istri ataupun ibu:

Kekerasan fisik maupun verbal
Kekerasan fisik bisa dilihat oleh mata, dan ini banyak terjadi di sebuah pernikahan.  Tetapi kekerasan verbal mungkin tersamarkan, dan menyedihkannya dianggap wajar oleh banyak suami terhadap pasangannya.  Beberapa kalimat yang paling sering terucap oleh laki-laki atau suami, "Aku capek kerja di kantor. Kamu itu hanya bisa minta duit.  

Kamu jangan boros, pintar-pintarlah mengatur keuangan"  Jujurnya ini menggelikan, karena seolah pasangannya hanya tidur 24 jam di rumah?  Tidakkah si suami ini berpikir, siapa yang merapikan dan membersihkan rumah, dan siapa pula yang mengurus anak-anak mereka.  Lalu, bisakah atau punya kemampuan apa kita untuk mencegah kenaikan harga?  Sedangkan, sudah bukan rahasia lagi, seorang perempuan bisa gagal beli bawang hanya karena beda harga 100 perak.

Kekerasan non verbal
Kekerasan yang menurutku salah satu contohnya, ketika pasangan, dalam hal ini suami membatasi ruang gerak atau potensi istrinya.  Sebab menurutku, ketika seorang perempuan memutuskan berkeluarga, bukan untuk mengakhiri hidupnya.  Justru, dia memulai lembaran baru kehidupannya, yaitu sebagai istri dan ibu. Bayangkan ngerinya ketika seorang perempuan atau istri terkondisikan siaga 24 jam.  Mendapatkan pasangannya tidak mandiri, dan cendrung menjadikan istrinya ibarat ibunya.  Ini horor, sementara ada anak yang juga harus diperhatikan.

Baiklah, mungkin ada suara yang mengatakan bahwa banyak anak di kota besar diurus oleh suster atau asisten rumah tangga (ART).  Pertanyaannya, bagaimana dengan yang tidak, dan yang diurus oleh istri atau ibunya sendiri?  Lalu, sekalipun oleh ART, apakah dengan demikian sang suami atau ayah merasa berhak lepas tangan karena ini tanggungjawab istrinya, ibunya saja?  Lha...memangnya anak tersebut buah cinta siapa?

Tidak heran, jika kemudian perempuan dalam sebuah pernikahan mengalami gangguan kesehatan mental, misalnya:

  1. Kehilangan jati diri
  2. Menarik diri dari pergaulan
  3. Kehilangan kebahagiaannya
  4. Cenderung temperamental, mudah tersinggung, putus asa dan kehilangan kesabaran
  5. Mencari pelarian dengan kehilangan kontrol terhadap makanan, ataupun menonton sinetron atau drakor hingga lepas kontrol
  6. Depresi karena merasa bersalah, dan kesedihan yang berkepanjangan
  7. Kecemasan dan panik, karena ketakutan yang luarbiasa terhadap kondisi yang lepas kendali.

Kita tidak bisa memilih lahir sebagai perempuan atau laki-laki.  Benar keduanya memiliki kodrat, bahwa sejatinya laki-laki mencari nafkah, dan perempuan menjadi ibu karena dari rahimnya lahir titipan Tuhan untuk dibesarkan dengan penuh cinta kasih.

Adalah zaman berubah karena perempuan juga memiliki potensi dirinya.  Dia berhak untuk berkembang, dan memiliki kehidupan tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan.   Sejatinya seorang laki-laki, suami atau ayah menjadi penyemangat yang memberikan dukungan.  Berjalan bersama, saling mendukung dan melengkapi.  Bukan menyudutkan, apalagi menjatuh dan mematikan kehidupan dari istri atau ibu anak-anaknya. 

Sebab perempuan ibarat pelukis yang memberikan warna.  Jika dirinya bahagia, maka akan lahir lukisan kebahagiaan untuk keluarga, yaitu suami dan anak-anaknya.

Jakarta, 30 April 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun