Tidak terasa Ramadhan kembali datang menyapa. Â Lucunya di setiap Ramadhan aku auto panik, heboh terikut euforia. Â Bukan baru-baru saja, tetapi sudah sejak saat bapak masih bersama. Â Malah si bapak lebih kocak, karena biasanya di setiap bulan puasa, pasti deh rumah kami pun di sore hari ikutan tersaji menu berbuka. Â Padahal kami tidak puasa, Â karena tidak merayakannya. Â Tetapi rempong saja meramaikan di saat buka, keikut seru.
Hahah..alasannya sih untuk mbak di rumah yang berpuasa. Â Padahal itu cuma caranya mengobati rindu pada menu berbuka yang hanya muncul di saat Ramadhan, misalnya gulai kepala kakap, berbagai es buah, jajan pasar, lemang dan tape ketan hitam.
Ehhmm...apa itu lemang? Â Lemang itu kuliner khas Indonesia berbahan dasar beras ketan dan santan yang sebelumnya diisi ke dalam batang bambu berlapis daun pisang kemudian dibakar. Â Umumnya orang mengenalnya ini kuliner khas Minang, dan seringkali disantap bersama tape ketan hitam. Â Tetapi kalau orang Medan, biasanya dijadikan teman makan rendang ataupun durian. Â Ehhmm...rasanya mantul! Â Menariknya ternyata di Sulawesi pun ada lemang, yang dikenal dengan nama Nasi Jaha atau Nasi Jahe. Â
Bedanya lemang ala Sulawesi Utara ini menggunakan tambahan jahe pada ramuannya. Â Disantapnya pun khas sekali dengan abon daging sapi, atau abon ikan cakalang, ataupun gulai dan kari. Â Pun di Aceh, keturunan Melayu dan Dayak di Kalimantan Barat dan Tengah juga mengenal lemang yang biasa dimakan dengan hidangan asin seperti rendang.
Serunya, seorang kerabatku itu pengrajin lemang. Â Dijualnya dengan harga Rp 50 ribu per batang. Â Luarbiasa semua proses pembuatan serta pembakarannya masih dilakukan secara tradisional. Â Padahal, di kota besar Jakarta ini bukan hal mudah untuk mendapatkan bambu yang bagus untuk pembuatan lemang. Â Tetapi, tetap saja kerabatku setia menjadi pengrajin lemang yang telah berhasil mengantarkannya menyekolahkan anak-anaknya.
Mungkin inilah yang membedakan orang zaman old dengan zaman now. Â Para orang tua kita dikenal gigih dan setia dengan profesinya, tidak lekang dimakan zaman. Â Bahkan bapakku saja yang meskipun telah melalang buana ketika masih aktif. Â Tetapi tidak melupakan kesukaannya memasak, serta keahliannya membuat tape ketan hitam! Â "Sombong nggak bikin kenyang," begitu nasehatnya selalu.
Heheh...iya, bapak dulu ketika masih ada sangat rajin membuat tape ketan hitam, dan rasanya sangat mewah sekali. Â Manis yang keluar dari tape, bukan karena manis gula. Â Sehingga ketika dinikmati rasanya bikin ketagihan.
Membuat tape ketan hitam terbilang rumit, menurutku sih. Â Dulu aku bilang ke bapak, "Ngapain bikin tape pak. Â Mending kita beli saja lebih ringkes dan tidak bikin dag did dug." Â Tetapi bapak menolak, menurutnya bikinan sendiri lebih enak, karena manisnya beda. Â Soal dag dig dug jadi atau enggak, pastilah jadi kalau dibuat dengan benar serta bersih.
Ssstt...percaya nggak percaya, tetapi konon katanya tidak semua orang bisa membuat tape, dan tergantung suasana hati juga loh. Â Uupps...
Maka jadilah aku bertahun-tahun memperhatikan bapak membuat tape. Â Pernah tape ketan hitam dan pernah juga tape singkong. Â Asli, memang butuh kesabaran tingkat dewa, dan kebersihan yang super.
Bahan:
- 500 gr Ketan Hitam
- 2 butir ragi tape, dihaluskan
- 5 sdm gula pasir (sesuai selera)
- Daun pisang untuk alas
- Air masak 3 gelas
Cara Membuat:
- Beras ketan dicuci dengan air supaya sampai air menjadi bening minimal 4X cuci
- Rendam beras ketan yang sudah dicuci selama 12 jam
- Cuci kembali berasnya supaya tidak berbau
- Kukus matang (kurang lebih 15 menit)
- Angkat dan masukan ke dalam baskom
- Tuang air panas secukupnya sampai meresap, kurang lebih 2 gelas
- Kukus sampai matang dan empuk kurang lebih 45 menit.
- Angkat lalu ratakan di atas tampa yang dialasi dan pisang dan biarkan hingga dingin
- Taburi merata dengan ragi dan gula pasir (boleh dengan gula pasir atau tidak)
- Pindahkan ke panci yang sudah dialasi daun pisang, kemudian tutup kembali dengan daun pisang.
- Bungkus panci dengan kain hingga rapat.
- Simpan dan diamkan beras ketan 3 atau 4 hari, tidak boleh dibuka selama proses fermentasi. Â (Lebih baik dipendam dalam beras).
Nah, resep diatas ilmu yang diwariskan bapak kepadaku. Â Beberapa kali aku sudah pernah membuatnya. Â Awalnya terdesak karena tugas sekolah anak-anak. Â Ngeri sedap khawatir gagal, tetapi ternyata hasilnya luarbiasa mantul! Â Guru anakku saja sampai mengira kami membelinya, dan ujungnya malah sempat pesan untuk dibuatkan. Â Hahah...
Percaya deh, dijamin leleh di lidah. Â Apalagi jika sudah lewat beberapa hari makin nggak ketolongan mantapnya. Â Terlebih jika dinikmati dalam kondisi dingin, dan dimakan bersama lemang. Â Wuiihhh....rasanya terbang melayang euyyy... Heheh...
Yukss...silahkan dicoba, bersiap untuk menyambut bulan Ramadhan.
Jakarta, 11 April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H