Rupanya perjalananku masih berlanjut. Â Seperti ada beban moril mengedukasi group dimana aku bergabung. Â Bisa saja aku diam, karena apa untungnya aku berbagi pengetahuan. Â Tetapi kok rasanya nggak enak, ada rasa terbeban. Â Tanpa merasa jemu, sekalipun dikacangin tetap saja aku berbagi ilmu mengenai pandemi Covid, protokol kesehatan, dan TPK. Â Entah itu dengan berbagi informasi yang aku peroleh, ataupun dengan membuat tulisan yang aku bagikan.
Penasaran reaksinya? Â Disinilah uniknya, mayoritas diam, dan beberapa suara menentang. Â Suara menentang ini bahkan menjatuhkan dan memojokkan aku. Â Begitupun, aku tidak mundur. Â Satu ucapan Dok Mo yang aku pinjam, "Satu nyawa berarti." Â Inilah yang membuat aku tetap bersuara melawan arus.
Seiring waktu, kembali Tuhan membawaku kepada ceritaNya. Â Cerita dimana aku mulai didengar. Â Satu persatu orang-orang yang dulu membuang muka kini berbalik arah. Â Tanpa bermaksud menyombongkan diri, akhirnya aku juga membantu mereka yang butuh informasi plasma untuk TPK. Â Ada saat aku ikutan mengeluarkan airmata saat kehilangan, dan bahagia ketika ada jiwa yang berhasil diselamatkan. Â Semua kabar selalu aku bagikan kepada Dok Mo dan beberapa teman yang selama ini bersamaku berjuang di masa pandemi Covid.
Mereka adalah termasuk orang biasa yang di awal pandemi rela menjahit sendiri masker untuk disumbangkan, mereka yang rela mengumpulkan donasi untuk pengadaan APD, bahkan mereka yang rela bergotong royong membuat faceshield agar bisa dikirim ke daerah.
Aku dan kami hanyalah perpanjangan tangan Tuhan. Â Langkah kakiku ini adalah berkat semangat yang terus dipompakan teman-temanku. Â Modal untuk terus bersuara lantang mengedukasi, setidaknya untuk orang-orang terdekat disekitarku. Â Kembali meminjam ungkapan Dok Mo, "Tuhan saja tidak pernah menyerah kepada manusia. Â Apalagi kita manusia kepada sesama."
Inilah tanda kasih untuk teman-teman yang selama ini berada bersamaku. Â Mudah-mudahan "perjuangan" receh kita bisa memberkati.
Jakarta, 31 Desember 2020