Kira-kira begitulah kejadiannya, betapa lucunya kita karena agama yang kita yakini. Â Padahal Tuhan yang memiliki isi bumi ini begitu Maha Kasih dan Maha Penyayang. Â Bisa jadi diriNya bingung, kenapa manusia ciptaanNya makin banyak yang sotoy. Â Merasa bebas merdeka menghakimi sesama manusia. Â Lha, Dia saja tidak pernah menghakimi, dan selalu penuh maaf.
Agama menjadi "lawakan" identitas tidak sendirian, karena persoalan keturunan pun belakangan dijadikan urusan di negeri ini. Â Kocak, melihat saudara kita beretnis China terus dipojokkan sebagai orang China. Â Padahal mereka saja nggak tahu siapa nenek moyangnya. Â Hanya karena mata sipit dan berkulit putih maka menjadi "aib" yang tidak pernah terselesaikan, sekalipun entah sudah berapa turunan lahir di bumi pertiwi ini.
Sementara dilain sisi ada yang "buta dan bangga" membiarkan budaya Arab menggeser identitas Indonesia. Â Nggak ngerti juga apakah itu satu paket dengan agama. Â Pastinya, kelucuan seperti ini harusnya tidak perlulah terjadi di bumi Indonesia.
Ironisnya, "paket lengkap" agama dan etnis tak lekang oleh waktu dan fleksible. Â Terbukti di setiap persoalan, di setiap momen negeri ini, dan di setiap kesempatan selalu digunakan sebagai penglaris mencapai tujuan.
Heheh...apa kata dunia, kita teriak toleransi, kita teriak beragama, dan sok ikut campur urusan negara orang. Â Tetapi faktanya, diantara kita saudara satu bangsa saja belum beres urusannya.
Tahun pasti berganti, lihat saja tahun 2019 bergeser ke 2020, tahun ini. Â Tetapi lawakan agama dan etnis nggak pernah kehilangan kelucuannya. Â Penasaran, apakah di 2021 kita yang bersaudara lahir dari Ibu Pertiwi, akan kembali melawak seperti kambing yang ternyata beridentitas?
Hahahah...untuk yang penasaran nasib kambing diapain, jawabannya tetap dijadikan sop. Â Tetapi yang memasak salah satu orang tua murid, yang seiman. Â Jadi persoalan untuk aku? Â Hahah...enggaklah...wong rasanya enak! Â "Gitu aja kok repot," begitu kata Gus Dur idolaku.
Jakarta, 29 Desember 2020