Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Camberwell Sunday Market, Melbourne Ajariku Jurus Hemat

28 November 2020   20:25 Diperbarui: 8 Desember 2020   10:00 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Camberwell Sunday Market (Sumber: economicstudents.com)

Soal tren pakaian bekas, jadi teringat pengalaman saat belajar di negeri orang, Melbourne. Hehehe...

Sewaktu berangkat merantau sih semua terasa asyik, nyaman, aman, terkendali. Tetapi, begitu tiba di sana mulai deh segala macam pertanyaan bermunculan. Salah satunya bagaimana caranya berhemat.

Ada rasa malu hanya mengharapkan kiriman orangtua dari Jakarta. Tinggal jauh di negeri orang membuat aku berpikir keras cara bertahan hidup. Ehhmm... Aku harus tinggal mandiri, tidak boleh selamanya dengan homestay parents. Selain mahal, juga tidak membuat aku mandiri karena semua sudah ada, tinggal bayar saja.

Beberapa pilihan sudah aku jalani. Pertama, bergabung menyewa tempat tinggal dengan pelajar asing lainnya, lalu mencoba tinggal dengan bule lokal, dan hingga akhirnya banting stir tinggal menyewa flat sendiri.

Di sinilah uniknya, saat memutuskan keluar dari homestay parents. Hehehe... aku cuma bermodal baju sekoper dari Jakarta. Kebayang bagaimana hariku selanjutnya di kamar flat yang kami sewa bersama mahasiswa Hongkong dan Taiwan.

Tidak punya tempat tidur, selimut, bantal dan segalanya termasuk heater (pemanas ruangan) benar-benar uji nyali. Ssstt... buka rahasia, malam itu aku tidur di dalam koper berlapis seluruh bajuku.

Dinginnya Melbourne menusuk hingga ke tulang. Sedangkan teman-temanku asingku lainnya cuek saja. Mungkin karena beda bangsa, beda budaya, membuat mereka rada cuek. Nggak jelas.

Di suatu Hari Minggu selesai kebaktian Indonesia di Malvern Church aku mendengar percakapan 2 mahasiswa Indonesia. Kebetulan setiap selesai kebaktian selalu ada acara makan. Hahaha.... jurus hemat setiap mahasiswa Indo, kenyangkan perut dulu sebelum pulang. Lumayaannn...bisa hemat makan malam.

Mendengar seorang di antara mereka kebingungan mau dikemanakan barang-barangnya saat waktu kembali ke Indonesia semakin dekat. Ehhmmm... aku melihat peluang. Itulah yang aku lakukan, memberanikan diri mengatakan, "Aku mau!"

Singkat cerita tidak pakai lama, keesokan harinya kamarku sudah terisi barang bekas miliknya. Mulai dari tempat tidur kayu, lengkap bantal guling dan bed cover cadangannya, meja belajar kayu beserta kursinya, lalu heater bekas miliknya. Luar biasanya, aku memperolehnya dengan gretong, alias gratis!

Selesai sampai di situ, seiring waktu aku berpindah beberapa tempat hingga akhirnya memilih tinggal sendiri. Di sinilah kembali datang persoalan, karena dapurku kosong dan sepertinya aku perlu televisi supaya nggak ketinggalan berita.

Inilah awalnya aku mengenal dan terjun langsung dengan pasar barang bekas. Istilah teman-teman Indo di sana, barang loak tapi bagus dan terpenting sesuai kantong pelajar seperti kita yang lebih penting daripada bermerek tapi mahal. Makan gengsi nggak kenyang, kata mereka! Hahaha.. benar juga.

Perburuan pun dimulai dari Prahran Market, Camberwell Market, dan Sunday Market yang juga memiliki pojok barang bekas ketika itu. Bahkan (maaf lupa) ada beberapa toko di sana yang menjual barang bekas atau second. Kalau tidak salah ingat namanya Brotherhood.

Prahran dan Camberwell Market menjadi tempat favoritku, karena lokasinya dekat dan transportasinya cukup mudah bagiku.

Jangan salah, loak atau bekas itu bukan sampah! Bahkan kita kalap karena merasa di surga melihat begitu banyak pilihan barang kualitas bagus dengan harga murah meriah! 

Inilah yang akhirnya aku lakukan, memborong panci, sendok, garpu, pisau, dan rombongan dapur lainnya. Cakep, keren khan? Dalam sekejap mata, dapurku lengkap sudah!  Artinya, aku bisa berhemat dengan memasak sendiri.

Satu persoalan selesai, lalu bagaimana dengan televisi? Ehhmm...gajiku nyambi sebagai tukang cuci di 2 restauran, cleaning service, dan tukang ketik di salah satu kantor kecil tetap aja tidak cukup.

Bagaimana mau cukup kalau untuk 1 pekerjaan saja aku hanya mendapatkan AUD10 hingga AUD15 per jam, dan aku bekerja untuk 2 jam. Belum lagi aku harus berhemat supaya bisa membayar sewa flat sendiri, dan nabung untuk satu permintaan ompungku.

Abrakadabraa....pulang sekolah melewati satu toko kecil yang menjual berbagai barang elektronik. Iseng saja menanyakan berapa harganya, dan ada yang bekas tidak. Hahaha... ternyata ada, tetapi televisi tua hitam putih. Kalau mau nanti dikasih diskon katanya.

"Why not, but I don't have car.  If you don't mind can you deliver to my home, but free?" kataku percaya diri kebangetan. Hahaha... lagi, sepertinya laki-laki itu malaikat. Meskipun awalnya tertawa nyaring bikin aku kaget, tetapi kemudian tersenyum mengangguk, lalu meminta alamatku.

"Knock...knock...," keesokan sore seseorang mengetok flatku. Ternyata laki-laki baik hati penjual televisi itu. Televisi hitam putihku sudah sampai, dan malam ini setelah pulang kerja part time aku tidak akan kesepian, kataku dalam hati.

"I got something for you, young girl," katanya kemudian sambil tersenyum, dan seorang temannya membawa lemari tua ukuran kecil terbuat dari kayu, 5 laci.

"Don't you need this to put your television? You can also keep your clothes here," katanya memberi contoh menarik laci pada lemari kecil itu.  "Give me smile, no need to worry, as this is my gift for you, free! You only have to promise to study hard, just it!" katanya kemudian karena mungkin melihat mukaku datar.

Thank God, seperti kataku laki-laki itu malaikat!  Tetapi, inilah pengalamanku yang lanjut kemudian memilih mencari seluruh keperluanku di sana di secondhand market. Kalau bagus, dan murah kenapa tidak? Bukan harga yang dilihat, tetapi fungsinya!

Itulah yang aku lakukan, termasuk juga baju. Ngapain malu, siapa peduli daripada kedinginan. Tul nggak?

Mana mungkin aku selamanya hanya punya 1 sweater dan 1 overcoat, harus ada cadangan untuk ganti-ganti. Lagi pula, aku bisa membantu orangtuaku dengan berhemat! Daripada aku foya-foya membelanjakan barang bermerek di toko terkenal Myers atau Daimaru ketika itu tapi menggunakan uang orangtua.  Malu!

Nilai ini berlanjut ketika aku kembali ke Indonesia. Mulai bekerja di salah satu perusahaan asing, dan tetap aku tidak malu untuk membeli baju bekas, baik rok, ataupun blouse untuk tampil modis sebagai private secretary. Ehhhmmm...

Seingatku ketika itu pertokoan di Melawai Blok M juga sempat ada wabah baju second, dan aku ikutan hunting loh!  Bukan karena murah saja, tetapi modelnya keren, dan bahannya juga berkualitas. Ingat kata temanku dulu, "Gengsi nggak kenyang dimakan."

Nilai ini juga yang aku wariskan kepada anakku. Kalau ada barang yang masih bisa digunakan si adek, kenapa harus beli baru?

Sebagai contoh, kaos rumah putriku, bisa lanjut dipakai adeknya.  Toh, warna dan gambarnya netral bisa dipakai cowok dan cewek.  Puji Tuhan, kedua anakku juga tidak cerewet. Justru si bungsu bangga kalau bisa memakai warisan kakaknya.

Intinya, kita belajar untuk menghargai segalanya. Menghargai uang yang kita miliki, bahkan barang-barang yang kita miliki. Jika kita menjaga barang dengan baik, maka bisa kita wariskan kepada saudara ataupun teman.

Ingat juga, ada banyak orang di luar sana yang kondisinya memprihatinkan. Kenapa tidak mencoba berempati dengan belajar injak rem tidak berfoya. Kalau perlu berikan barang layak yang kita miliki supaya berguna untuk orang lain.

Penasaran, ke mana barang-barang itu setelah aku kembali ke Indonesia?

Hahaha.... seperti dulu aku mendapatkannya karena diberi oleh seorang teman. Kecuali pakaian, maka barang-barang itupun aku tinggalkan for free alias gretong bin gratis kepada teman mahasiwa yang baru datang ke Melbourne.

Jakarta, 28 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun