Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak dan Haknya

20 November 2020   02:19 Diperbarui: 20 November 2020   02:29 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miris kebanyakan dari kita tidak menganggap kehadiran anak sebagai individu bebas. Cara pandang kita masih kepada, jika ada papa dan mama, maka wajar kemudian ada anak. Terus, apa istimewanya?

Pemikiran seperti ini jujurnya jadul banget, karena anak itu bukan properti pelengkap. Tetapi, anak seperti juga orang tuanya adalah individu yang memiliki hak, selain juga kewajibannya sebagai anak. Mirisnya, banyak anak dibebani dengan kewajiban, dan kehilangan atas haknya.

Baiklah, pertama kita harus pahami dulu siapa yang dimaksud dengan anak. Di Indonesia, mengacu kepada Undang-Undang Perlindungan Anak (UU 23/2002 dan UU 35/2014), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Tetapi, ini juga yang memprihatikan bahkan untuk hadir ke dunia saja, masih banyak anak kehilangan haknya. Angka aborsi di Indonesia terbilang mengerikan.  Pada Agustus 2020 sebuah klinik di Jakarta Pusat terbongkar telah melakukan praktek selama 5 tahun, dan tercatat aborsi 2.638 janin untuk kurun waktu 2019-2020. Ngeri!

Ini sebuah awal bagaimana cara pandang sebagian masyarakat kita mengenai kehadiran anak. Tidak heran, jika dalam keseharian pun banyak anak hanya dijadikan obyek, kehilangan hak, dan bahkan hak untuk bersuara.

Berikut sekurangnya 13 hak yang ditegaskan oleh UU Perlindungan Anak, yaitu:

  1. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
  2. Hak beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua/wali.
  3. Hak mengetahui orang tua
  4. Hak pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
  5. Hak pendidikan dan pengajaran
  6. Hak menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya
  7. Hak beristirahat, memanfaatkan waktu luang, dan bergaul
  8. Hak memperoleh rehabilitasi dan bantuan sosial (bagi anak penyandang disabilitas)
  9. Hak perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah.
  10. Hak diasuh oleh orang tuanya sendiri
  11. Hak dilindungi dari penyalahgunaan kegiatan politik, perang, kerusuhan, kekerasan, peperangan, dan kejahatan seksual.
  12. Hak perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau hukuman yang tidak manusiawi.
  13. Hak bantuan hukum

Kita sangat memahami bahwa kondisi budaya, pendidikan dan tingkat ekonomi bangsa kita membuat sulit untuk setiap anak Indonesia mendapatkan haknya secara sempurna.  Sebagai contohnya saja, melihat angka aborsi yang memprihatinkan tersebut.

Ini belum lagi jika bicara faktor ekonomi yang memaksa anak harus membantu kedua orang tua bekerja demi menopang ekonomi keluarga. Di antara kewajiban sebagai anak, lalu dirinya kehilangan hak untuk bersekolah bergaul dan bahkan berpendapat. Mereka dipaksa dihadapkan pada posisi sulit. Membuat banyak dari mereka kehilangan masa kanak-kanak, dan dewasa sebelum waktunya.

Jika ini terjadi pada masyarakat kelompok menengah ke bawah maka dengan berat hati dipahami, walau ini menjadi pekerjaan rumah bersama bangsa ini.

Tetapi, ternyata kehilangan hak juga terjadi pada kelompok keluarga ekonomi menengah ke atas  Kenyataannya kebanyakan mereka "dinyamankan" dengan segala fasilitas yang ada, tetapi kehilangan hak untuk diasuh oleh orang tuanya. Posisi papa dan mama kemudian tergantikan oleh pengasuh, bahkan uang.

Apakah mereka juga diberikan kebebasan bersuara? Ternyata tidak! Banyak dari mereka harus menelan kenyataan pahit ketika orang tua datang dengan jawaban, "Papa dan mama cari uang, dan kamu belajar." Inilah yang akhirnya melahirkan generasi robot, dan mati rasa.  Mereka tumbuh dengan pengertiannya sendiri, di dalam dunianya sendiri.

Fasilitas dan uang membutakan mereka. Tidak heran jika banyak kejadian orang tua "kehilangan" anaknya, dan merasa asing.

Ngeri ketika hubungan orang tua dan anak dibatasi dinding tinggi yang memisahkan jelas kewajiban dan hak. Padahal diantara orang tua dan anak tidak boleh ada jarak, tetapi harusnya ada komunikasi sehingga kewajiban dan hak bisa berjalan parallel.

Ironisnya, budaya terkadang ikutan menjadi penghalang. Tabu bagi keluarga Indonesia ketika anak mengeluarkan pendapat. Bahkan untuk sekedar menunjukkan sikap protes saja dianggap pembangkang, alias melawan orang tua. 

Padahal, zaman semakin maju, dan harusnya sebagai orang tua yang hidup di era serba digital ini bijak menempatkan diri dalam berbagai peran. Mampu berperan sebagai sahabat, guru dan juga pastinya orang tua.

Zaman berubah, membuat anak di zaman kini lebih kritis. Bukan karena mereka melawan, tetapi mereka berpendapat. Komunikasi menjadi kunci, dan komunikasi atau berpendapat juga bagian dari hak anak. 

Sebagai orang tua, tidak akan pernah kehilangan hormat dari anaknya hanya karena mendengarkan, percayalah. Sebaliknya, kita akan mendapatkan ketulusan cinta mereka.

Berkomunikasi, dan hormatilah anak, dengan mendengarkan suaranya. Menempatkan haknya sejajar dengan kewajibannya.

Selamat Hari Anak Sedunia, dan jadilah anak yang berbahagia!

Jakarta, 20 November 2020

Sumber:
detik.com
kompaspedia.kompas.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun