Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rugi Bandar

2 November 2020   00:49 Diperbarui: 2 November 2020   02:27 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setuju tidak setuju, suka atau tidak suka tetapi perempuan lebih bisa bertukar peran. Bisa menjadi ayah, ibu, kakak, sahabat atau bahkan guru sekalipun. Pokoknya, sebut saja perannya! Heheh...tetapi, ini menurut penulis yah.

Mengenai bertukar peran, tidak semuanya kaum adam alias para bapak sanggup melakukannya. Taruhlah mengenai urusan dapur dan memasak. Wah... ini sangat langka sekali. Selain para Master Chef handal yang terkenal, mungkin alamarhum bapak bisa masuk kategori ini.

Bapak ketika dimasa hidupnya sangat suka ke dapur. Padahal tugas kantor dan jabatannya terbilang cukup menyita waktu. Tidak hanya itu, semasa hidupnya bapak terbilang telaten mengurus anak dan juga masak memasak. Maaf, tidak berarti ibu tidak demikian yah. Anggaplah ini pengecualian, 1: banyak sekali. Beruntung? Yup, beruntung sekali, begitulah masa kecil penulis memiliki orang tua yang mampu berbagi peran tanpa melihat gender.  Singkatnya, bapak dan ibu saling membantu.

Namun, ketika berumah tangga keberuntungan itu tidak terulang. Heheh..., salah?  Yah enggak juga.  Nggak bisa kita paksakan suami kita bertukar peran dengan kita dengan hasil yang maksimal menurut standarisasi kita.  Bahkan, mau membantu saja sudah puji Tuhan.  Lagipula belahan jiwa penulis bukanlah bapak.  Apalagi di adat Batak, pamali alias tabu begitu katanya.

Kocak sih, sejak kapan ada aturan kalau anak dan memasak urusan ibu, lalu bekerja dan mencari uang urusan bapak? Nggak bangetlah!

Teringat satu masa ketika kami pulang kampung untuk sebuah acara adat.  Saat itu kedua anak kami masih kecil, masih menggunakan pampers. Puji Tuhan suamiku ini cukup cekatan menggantikan pampers.  Sadar betul sulit bagiku dengan baju adat, kepala bersanggul harus berjongkok mengganti pampers anak.  

Kebetulan saat itu namanya kampung, benaran kampung yang minim segala fasilitas.  Heheheh...jangan ditanya mata-mata ngeri itu memandangku.  "Ssst...jangan kau ulangi lagi seperti ini. Kacau kau suruh suamimu mengganti pampers?" begitu seorang kerabat berbisik nyelekit. Hahah.. hatiku tertawa. Betapa sempitnya dunia. Memangnya anak itu anakku doang? Begitu pikirku dalam hati dengan sedikit rasa kesal.

Kejadian itu sudah lama.  Tetapi pandemi membawa semuanya kembali. Kenapa?

Begini, mungkin dengan maksud baiknya suamiku mencoba membantu saat sekarang dirinya lebih banyak berada di rumah. Tangan ajaibnya lalu membersihkan dapur kami hingga seluruh prabot dapur disikatnya sedemikian rupa.

Simsalabim...abracadabra bak sulap semua menjadi kinclong! "Dek...lihat semua prabot dapurmu sudah kusikat hingga mengkilat. Heheh...mantap khan?" katanya dengan nada sangat luarbiasa senang.

Dubraakk.. lemas aku mendadak. Betapa tidak, karena seluruh Teflon milikku pun sudah disikatnya hingga tidak ada lagi lapisan teflonnya, alias semua sudah dikupasnya!

Marah? Hehheh... emangnya berguna?  Mengelus dada aku berkata, "Bang, ini namanya Teflon, dan memang harusnya memiliki lapisan Teflon supaya kalau menggoreng tidak lengket. Artinya, dengan kondisi telanjang saat ini, Teflon ini dinyatakan cedera dan nggak bisa dipakai lagi," kataku dengan berhati-hati menjelaskan sambil menunjukkan 5 wajan Teflon milikku yang botak.

Begitulah adanya, kocak saat seorang suami mencoba membantu. Entah itu iseng tukar peran atau memang niat membantu.

Inilah juga yang terjadi dengan suami ketika mencoba membantu belanja ke pasar. Awalnya memang kami berdua saja, karena khawatir Covid. Tetapi apa yang terjadi adalah lawakan yang bikin aku mules.

Dek, jangan terlalu dekat dengan mereka.  Dek, tunggu dulu mereka lewat, dan baru kau jalan. Dek.. bla.. bla.. dan bla..bla... yang akhirnya aku lebih banyak diam di tempat tidak bergerak.

Ujungnya, suami memutuskan biar dirinya saja yang belanja seminggu sekali.  Aku cukup menuliskan daftarnya saja.  Hehehh...pertanyaannya apakah sesederhana itu?  Enggak!

Satu persatu aku harus menunjukkan lewat gambar di Mbah Google siapa sawi putih, buah naga, labu siam ataupun sayur lainnya.

Itu pun tidak cukup sampai disitu kegaduhannya. Namanya suami yang dibesarkan dalam keluarga besar di masa kecilnya maka semua yang dibelanjakannya selalu porsi jumbo. Padahal secara rinci aku sudah menuliskan berapa yang harus dibelinya. Ehhhmm... apakah aku marah?

Hehhe..enggaklah, ngapain juga. Pembelaannya, supaya sekalian. Dirinya lupa bahwa sayuran mana bisa disimpan lama. Memangnya makanan kaleng yang bisa tahan bertahun? Hahah

Singkat cerita inilah pernak pernik belahan jiwa penulis yang mencoba membantu peran istrinya saat pandemi.  Lalu bagaimana sekarang?

Heheh.. masih kurang lebih sama. Hanya saja sekarang suami mengerti harga cabe, bawang, minyak dan lainnya. Terucap olehnya diri sendiri, "Susah juga yah ternyata mencukupi uang belanja. Harus pintar nawar, dan itu pun jika berhasil ditawar," katanya sambil geleng-geleng kepala melihat sisa kembalian belanja yang tinggal 2000 perak.  Hehehe...

Jakarta, 2 November 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun