Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sampahnya Dibawa Pulang ya, Nak!

25 September 2020   18:48 Diperbarui: 25 September 2020   18:54 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: klikhijau.com

Dulu selagi masih anak hingga remaja, penulis cuek bebek dengan sampah. Pastinya ada banyak dari kita juga begitu khan. Ayo ngaku, jangan malu-malu. 

Jamak bangetlah makan permen lalu dengan santainya kita buang saja bungkusnya ngasal. Pembenaran yang dipaksakan, "nggak ada tempat sampah. Toh nanti juga ada yang nyapu atau terbang dibawa angin." 

Yah...yah...itulah penyakitnya sebagian dari kita, dan juga penulis. Tetapi, sekarang penulis sudah tidak lagi loh. Sudah sembuh total! Hahah...

Pengalaman di negeri orang mengajarkan banyak hal, dan membuat malu diri sendiri. Memang sih, tidak semua mendapat kesempatan yang sama bisa belajar di negeri orang. Tetapi, sebenarnya ini standar banget kok. Apa iya wajar kita buang sampah sembarangan? Kok yah di sungai bisa-bisanya kita melihat ada orang membuang kasur? Gusti...gusti...

Balik ke pengalaman penulis menuntut ilmu di Melbourne. Selain kotanya memang asri, dan kebersihannya itu loh mengagumkan sekali. Mikirlah, apa itu terjadi dengan sendirinya? Sudah pasti tidak dong.

Warganyalah yang mempunyai kesadaran tinggi tidak buang sampah sembarangan. Mereka akan bela-belain mengantongi bungkus makanan sampai tempat sampah ditemukan. Nah inilah yang judulnya disiplin, dan masyarakat kita di Indonesia belum sepenuhnya punya!

Contoh lain disiplin sadar akan kebersihan adalah ketika selesai menikmati makanan cepat saji. Kebiasaan orang Indo yang sampai kini pun masih banyak adalah membiarkan sisa makanan dan nampan tetap di meja. Sedangkan di negeri orang, dan inilah yang mengubah penulis. 

Ketika siap makan maka kita akan menaruh sisanya di tempat sampah yang sudah disiapkan, dan menaruh nampannya tersusun rapi diatasnya. Bahkan dengan kesadaran penuh, kita makannya nggak jorok dan mejanya kita bersihkan dulu dengan tissue sebelum dibuang ke tempat sampah.

Ini bukan sekedar persoalan membuang sampah, tetapi juga nilai yang menjadi karakter. Maksudnya kebiasaan yang baik ini akan membuat kita menjunjung kebersihan, baik diri sendiri ataupun lingkungan. Kita akan malu terlihat jorok, merasa gerah dan tidak nyaman.Bahkan secara tidak langsung mendisiplinkan kita.

Oiya, penulis juga jadi teringat Jepang, yang juga terkenal dengan disiplin tingginya dalam segala hal. Nggak heran Jepang pun terkenal dengan kebersihannya yang luar biasa.

Nilai-nilai inilah yang kemudian penulis tularkan kepada kedua anakku sejak mereka kecil. Membiasakan mereka membuang sampah harus di tempat sampah. Pernah di suatu kesempatan kami tidak menemukan tempat sampah, ketika itu si bungsu bingung mau dibuang ke mana bungkus coklatnya. "Mama, tempat sampahnya tidak ada. Bagaimana ini ma?" begitu katanya.

"Ooo..sudah dicari kesana dek? Yah sudah taruh saja di kantong kresek itu, dan bawa. Nanti kalau ketemu tempat sampah, kita buang. Kalau tidak ketemu, yah kita buang di rumah," begitu penulis menjelaskan kepadanya.

Kebiasaan itu akhirnya terbentuk. Sehigga tidak jarang kalau kami berpergian, di tas ransel anak-anak ada sampah di dalam plastik yang kemudian dibuang di rumah atau penginapan kami.

Kebetulan penulis mempunyai kebiasaan selalu menyisipkan kantong kresek yang dilipat segitiga. Tujuannya, siapa tahu perlu untuk emergency. Heheh...emak-emak rempong yah penulis? Tetapi begitulah adanya, dan (rahasia) kebiasaan kantong kresek ini warisan ilmu dari Ompung penulis.  Heheh...

Budaya inilah yang minim kita miliki, dan mirisnya (maaf) tempat sampahpun kadang sulit ditemui di tempat umum di negara kita.  Hal-hal kecil yang akhirnya menjadi pembiaran dan berkembang menjadi pembenaran. Sehingga masyarakat kita merasa bukan kewajibannya untuk membuang sampah di tempatnya, apalagi yah memang tempat sampahnya susah ditemui.

Kebiasaan ini tidak melulu pada kelas ekonomi menengah ke bawah, bahkan kelas ataspun masih ada yang cuek soal membuang sampah dan kebersihan. Mungkin kalau untuk dirinya mereka sadar, tetapi untuk kepentingan umum mereka cuek. Kenapa? Yah karena belum menjadi karakter yang terbentuk. Masih dengan pola pemikiran aku beres, yang lain sabodo.

Jika menengah ke atas saja masih seperti ini, lalu bagaimana dengan yang kalangan (maaf) bawah. Jangankan memikirkan kebersihan, dan sampah. Memikirkan perut saja sudah menyita waktu mereka.

Lalu bagaimana solusinya?

Solusinya bisa instant dan bisa juga proses. Jika bicara instant artinya harus ada sanksi tegas kepada mereka yang tertangkap tangan membuang sampah sembarangan. Sanksinya bisa denda, sanksi sosial bekerja di panti ataupun menyapu jalanan.  Selain itu juga pemerintah harus tegas tidak membiarkan pemukiman berada di bantaran kali. Tentunya ini akan menjadi potensi kali/ sungai tercemar.

Sedangkan solusi jangka panjangnya adalah menanamkan nilai kebersihan dan disiplin sejak di bangku sekolah. Benar-benar menanamkan, dan bukan hanya sebagai mata pelajaran tapi tidak mengubah prilaku. Pendidikannya pun nanti berkembang seiring jenjangnya. Jika usia dini lebih kepada menerapkan disiplin dan melakukannya, maka usia SMP dan SMA mungkin bisa kepada bagaimana mengolah sampah agar mempunyai nilai ekonomi misalnya.

Intinya persoalan sampah yang menjadi salah satu penyebab banjir, adalah tanggungjawab kita bersama.  Pemerintah harus dengan rutin membersihkan kali/ sungai yang merupakan aliran air, menyediakan tempat sampah, tidak melakukan pembiaran pemukiman di bantaran kali/ sungai, dan sanksi tegas kepada pelanggaran.

Sedangkan di sisi masyarakat harus menyadari arti kebersihan itu sendiri, bahwa tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi ini juga baik untuk kepentingan umum. Bayangkan saja jika kesadaran ini ada di setiap kita, maka kita pasti mendapati lingkungan yang nyaman, dan meminimise banjir.

Ehhhmmm...mudah-mudahan artikel emak rempong ini bermanfaat yah. Menutup artikel ini dengan ungkapan, "Ala bisa karena biasa". Artinya, kita semua pasti bisa melakukannya, dan mulailah lakukan ini dari diri kita masing-masing agar menjadi kebiasaan yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun