Kapan menikah adalah pertanyaan yang mengerikan, tetapi itu dulu. Â Meski di zaman sekarang pertanyaaan horor itu sesekali masih datang dari para sepuh. Â Tetapi milenial kota besar zaman sekarang sudah tidak begitu ambil pusing. Â
Kenapa? Â Yah...bagi kaum muda, ngapain menikah jika sendiri saja semua terasa enjoy. Â Apalagi dengan jabatan dan fasilitas yang "duniawi" bikin hidup terasa lengkap. Â Istilahnya, biar jomblo tapi happy!
Inilah faktanya, di kota besar ada banyak kriteria sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan siapa pendamping hidup nantinya. Â Nggak mau ribet, dan nggak mau susah kata mereka. Â Realistik saja, cinta tidak bisa dimakan. Â Â
Berbeda dengan ketika pacaran dulu, saat semua terasa cukup hanya dengan melototi pujaan hati. Â Sangking ngegilainya makan sepiring berdua saja dibilang kenyang. Â Padahal ketika menikah, bisa kurus kerempeng kalau setiap hari makan hanya sepiring berdua.
Pada akhirnya, memang pernikahan diperhadapan dengan ekonomi. Â Hiduplah di alam yang nyata bahwa uang ikut menentukan kapan kita tersenyum, dan kapan cemberut. Pikir saja, bagaimana tidak puyeng disodorkan tagihan yang ngantri untuk dibayar. Â Dimulai dari cicilan rumah, kendaraan hingga gaya sosialita selama ini demi mengikuti trend.
Apa lagi ketika didalam pernikahan itu ada anak. Â Memangnya anak bukan biaya? Â Benar anak adalah anugrah terindah dalam sebuah pernikahan. Â
Tetapi anak juga harus disekolahkan, dan paling tidak diberi makan juga pakaian. Â Artinya, ada tanggungjawab yang mengikutinya. Â Itulah kenyataan hidup sebuah pernikahan yang tidak semanis masa promo ketika pacaran. Â Kira-kira inilah satu dari sekian sebab ngerinya orang menikah.
Tetapi apakah pernikahan sehoror itu? Â Menurut penulis, pernikahan adalah kenyataan ketika kita tidak lagi bisa bersembunyi dibalik topeng karakter kita selama ini. Â
Begitu memasuki pernikahan, maka gamblang dan jelas karakter pasangan kita terbaca 24 jam. Â Jadi tidak seperti karakter yang kita kenali ketika masa pacaran yang satu atau dua jam itu.
Karakter-karakter ini akan meluap asli apa adanya ketika kondisi tersudut, contohnya saat pandemi Covid ini. Â Kenyataan banyak orang kehilangan pekerjaan, dan usaha tutup membuat emosi semakin labil. Â Lalu berujung dengan segala bentuk perang dan bisa jadi kekerasan dalam rumah tangga.