Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Izinkan Kami Mencintai Indonesia

16 Agustus 2020   19:54 Diperbarui: 16 Agustus 2020   20:10 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: eksepsionline.com

Izinkan kami mencintai Indonesia adalah kerinduan yang kerap terdengar dilingkungan terdekat penulis. Inilah kerinduan dari saudara-saudara kita beretnis China. Suara miring yang nyatanya masih ada pada sebagian masyarakat kita. 

Miris, padahal Indonesia sudah merdeka 75 tahun, dan kemerdekaan itu sendiri diperjuangkan oleh seluruh anak negeri ketika itu. Tidak melihat status sosial, agama dan juga etnis. Intinya mereka para pendahulu kita berjuang karena mereka mencintai negeri ini. Sama, persis dan tidak berbeda sedikitpun dengan saya, kamu dan kalian semua.

Kebetulan penulis dekat dengan lingkungan etnis China, dan bahkan memiliki 2 sahabat keturunan China. Di dalam beberapa kesempatan kami bertiga suka tertawa setiap kali penulis menemani kedua sahabat ke daerah kota untuk belanja keperluan ibadah mereka. Hehe...tidak jarang penulis dipanggil dengan sebutan cece, ataupun cik yang artinya kakak. 

Tetapi tahukah pembaca, penulis rasanya bangga loh. Kenapa? Karena walaupun berkulit sawo matang dan bermata belok, bagi penulis itu adalah sebuah penghargaan, dan penerimaan. Termasuk ketika penulis juga kerap diundang dalam acara pernikahan etnis China, lengkap dengan upacara minum teh dan makan bersama semeja, semeja.

Sedih rasanya ketika di tahun ajaran kemarin, dan tahun ini mendapati masih saja teman-temanku menanyakan bisakah anak mereka bersekolah di negeri.

"Aku kepingin anakku di negeri, tapi aman nggak yah? Kira-kira anak kita akan dikucilkan karena China, atau bagaimana yah.  Soalnya, nggak bisa bohong mata kami sipit dan kulit kami putih, bagaimana yah?" begitu pertanyaan yang membuat penulis jujurnya menangis. Menangis karena akhirnya kebanyakan mereka memilih untuk bersekolah di swasta yang menurut mereka disanalah "rumah" mereka.

Tidak hanya itu, terkadang pertanyaan "Mau terima nggak yah kalau untuk acara sekolah anakku bawa puding saja. Takutnya ada pikiran nggak halal karena kami China". Begitulah salah satu contoh kasus lainnya orang tua murid teman penulis di negeri yang kebetulan etnis China.

Ada apa dengan kita? Kenapa kita masih mempersoalkan etnis apa, sementara di umur yang ke 75 ini harusnya Indonesia sudah jauh melangkah. 

Bukan hanya melangkah, tetapi harusnya sudah melompat dan bikin terobosan seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo pada Pidato Kenegaraan Sidang Tahunan MPR/DPR-DPD pada Jumat 14 Agustus 2020 lalu di Senayan.  Ini ironi sekali, kita masih saja mengurusi hal-hal receh ketimbang membuat gebrakan, dan wujudkan mimpi untuk negeri ini.

Penulis memang lahir di bumi pertiwi Indonesia dengan kulit sawo matang dan mata belok yang katanya ciri khas orang Indonesia.  Terus apakah ini menjadikan definisi "Saya Indonesia", lalu sah jiwa dan raga kita Merah Putih?  Itukah takarannya?

Maaf rasanya tidak tepat, dan tidak adil. Mereka saudara kita yang keturunan China, Arab, Portugese atau etnis apapun tidak bisa memilih mereka lahir dari etnis apa. Orang tua mereka, nenek mereka sudah ada di negeri ini jauh sebelum mereka di lahirkan di bumi pertiwi Indonesia. 

Kenyataannya, negeri ini pun dulu didatangi banyak pedagang dari mancanegara.  Lihat saja pada budaya kita yang mengalami banyak alkuturasi, misalnya Keroncong yang merupakan warisan budaya Portugese dan Tari Topeng Betawi yang kental dengan sentuhan China.

Mengangkat cerita kerinduan akan Indonesia adalah hal nyata dari teman-teman beretnis China. Termasuk ketakutan mereka setiap saat terjadi gejolak politik di negeri ini. 

Seorang teman pernah berkata, "Aku lahirnya di Jakarta, orang tua dan popo (nenek) ku lahir di Indonesia. Harusnya, aku orang Indonesia karena aku lahir di Indonesia. Kalau nenek moyangku China, kenapa aku tetap dipanggil orang China? Padahal aku saja tidak tahu nenek moyangku itu, hanya ceritanya saja.  Lalu, kenapa aku, dan anak-anakku tidak bisa menjadi orang Indonesia?"

Pembaca, adakah kita yang bisa menjawab pertanyaan tersebut?

Bahkan pada Hari Besar Kemerdekaan di tahun-tahun sebelumnya mereka yang rindu disebut Indonesia ini dengan bangga mengibarkan bendera Merah Putih di depan rumahnya. Menyiapkan jalanan depan rumahnya untuk acara balap karung, dan berpartisipasi memberikan sumbangan untuk hadiah lomba anak-anak di lingkungannya.  Lalu siapa mereka jika hatinya ternyata untuk negeri ini?

Ini bukan karena mereka adalah orang-orang terdekat penulis. Faktanya mereka adalah saudara kita, pun di luar sana masih ada cerita seperti ini. Sedih setiap kali melihat mereka seperti tamu di tanah kelahirannya. Padahal Indonesia adalah rumahnya, mereka tidak sedang bertamu di negeri ini.

Tidak ada yang bisa memilih lahir dari etnis apa, atau dari rahim siapa. Termasuk faktanya mereka lahir dari rahim yang sama seperti kita yang berkulit sawo matang ini, rahim Ibu Pertiwi Indonesia.

Izinkan kami mencintai Indonesia. Dirgahayu negeriku, Indonesia. Tuhan memberkati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun