Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Insentif, Negara Bukan Sinterklas

8 Agustus 2020   20:52 Diperbarui: 8 Agustus 2020   20:49 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara dampak ekonomi akibat Covid-19 jelas bukan milik Indonesia saja, bahkan Amerika yang berlabel negara adidaya pun terseok-seok ekonominya akibat Covid.  Pemutusan hubungan kerja, dan melambatnya roda ekonomi dikarenakan kurangnya daya beli jadi "trend" nyata hantaman Covid tanpa terkecuali.

Harus diakui Indonesia dibawah pemerintahan Jokowi kepedulian terhadap rakyat itu nyata.  Maaf, ini opini penulis, yang mungkin berbeda dengan opini pembaca.  Tetapi, sekalipun begitu penulis merasa terganjal dengan wacana insentif pekerja swasta dengan gaji dibawah Rp 5 juta, yang diperkirakan untuk 13 juta pegawai dengan total anggaran Rp 31 triliun.  Konon rencananya dimulai September hingga Desember 2020 dengan besaran per orang Rp 600 ribu per bulan yang akan diberikan 2 bulan sekali, sehingga total Rp 2,4 juta selama 4 bulan untuk setiap orang.  Kenapa penulis merasa kurang sreg?

Begini, jadi ingat pepatah kuno yang ternyata dari Cina, "Memberi Pancing lebih baik daripada Memberi Ikannya".  Banyak orang mengatakan pepatah ini sudah tidak relevan, dan mungkin di saat Covid ini makin tidak relevan karena faktanya memang angka kemiskinan di Indonesia meningkat.  Menurut Badan Pusat Statistik tercatat angka kemiskinan per Maret 2020 mengalami kenaikan menjadi 26,42 juta orang.

Prihatin, jelas prihatin.  Tetapi memberikan ikan, dalam hal ini berupa bantuan sosial tunai rasanya tidak tepat sasaran.  Mari kita belajar dari banyak pengalaman ketika pemerintah memberikan bantuan sosial berupa kebutuhan pangan saat PSBB beberapa waktu lalu.  Wuihh...jangan ditanya simpang siurnya.  Ada yang mendapat double, ada yang tidak mendapat samasekali padahal butuh, dan ada yang mendapat tetapi sebenarnya tidak membutuhkan.

Serupa tapi tak sama rasanya dengan insentif yang digadang-gadang pemerintah ini.  Mengerti maksudnya baik mendongkrak daya konsumsi masyarakat.  Tetapi ada banyak pertanyaan yang timbul karenanya, yaitu:

  1. Mau sampai kapan rakyat "disuapin" seperti ini
  2. Bagaimana sosialisasinya?
  3. Tepatkah ini menjadi solusi?
  4. Amankan ini dari kebocoran dana, korupsi, pemotongan dan sejenisnya?

Baiklah kita ambil contoh sederhana jika satu kepala keluarga, sebut saja Pak Budi mendapatkan tambahan insentif per bulan Rp 600 ribu selama 4 bulan ini.  Kemudian Pak Budi bisa lebih leluasa berbelanja selama 4 bulan.  Otomatis kesejahteraan sedikit terangkat, demikian juga roda ekonomi Indonesia ikutan berputar sedikit.  Ehhhmm...lalu apakah hanya itu tujuan akhirnya?

Ini persis memberikan ikan ketika sedang lapar-laparnya, tetapi hanya itu karena tidak ada kailnya untuk mencari ikan berikutnya.  Inilah juga yang akhirnya banyak terjadi dalam cerita bantuan lainnya di negeri ini.  Salah satunya Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang tidak sedikit justru lari dari tujuan utamanya yaitu membantu kebutuhan anak sekolah, tetapi berubah menjadi sikap konsumtif layanan gofood ataupun cuci mata di mall.

Apakah pemerintah atau negara salah?

Dikatakan salah tidak juga, tetapi rasanya tidak tepat.  Harus diingat bahwa kondisi keuangan negara juga tidak sehat, sehingga segala hal yang beraroma dengan anggaran haruslah dihitung super hati-hati.  Jangan sampai niat baik memberikan bantuan justru jadi tidak mendidik, atau bahkan jadi memberikan "makan" kepada yang sudah kenyang, alias kebocoran anggaran karena dikorup.

Menurut penulis, lebih baik digalakan atau fokus saja mendukung industri rumahan, misalnya dengan memberikan pelatihan gratis dan kemudian memberi bantuan permodalan.  Lebih cetar lagi dengan mengenalkan cara pemasaran digital, sehingga cakupannya lebih luas.

Artinya, Covid dijadikan cambuk untuk bangkit, karena negara jelas membutuhkan rakyat yang siap dan mau menjadi penopang negeri ini bangkit dari keterpurukan.  Toh memang kelangsungan Indonesia bukan semata di tangan pemerintah, tetapi juga rakyatnya.  Sama-sama kita bangkit dan keluar dari kesulitan ini.

Maaf, Desember masih lama.  Sebaiknya negara jangan mencoba menjadi Sinterklas.  Semangat Indonesiaku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun