Cerita lama, tapi belajar banyak dari pengalaman ini. Â Bermulanya sih dari kebiasaan emak-emak di sekolah yang berusaha kreatif bikin arisan dengan maksud menabung. Â Ikutan sepakat dengan 20 orang emak lainnya ikutan arisan bulan. Â
Mereka bilang langsung 2 setiap ngocok. Â Hehe....cius penulis sendiri belum pernah ikutan arisan, dan tidak paham apa persisnya arisan. Â Kepikirannya, anggap saja nabung, dan kalau dapat lumayan bisa ajak anak-anak makan enak. Â Lagipula sesama teman pasti seru, begitu pikir penulis.
Seingat penulis ketika itu sebulannya Rp 100 ribu, dan dikocok 2 bulan sekali, artinya nanti total nilai arisan 20 x Rp 200 ribu = Rp 4,000,000. Nah inilah yang langsung kocok 2, dan berarti Rp 2,000,000 masing-masing jika dapat. Â Ehhmm....lumayan khan.
Semangat dong penulis, meski setelah 2 bulan nampaknya peruntungan belum memihak. Â Bahkan sampai di arisan ketiga pun belum hoki. Nggak apalah, khan nanti juga dapat, pikir penulis.
Benar saja, ketika pulang liburan Natal teman yang pegang arisan menelpon. Â "Say, kemarin situ nggak datang sih, padahal arisannya dapat loh," begitu suara telpon di seberang.
"Waduh, terus gimana dong. Â Aku abis liburan Natal bawa bocah nih," sahut penulis yang buta soal arisan.
"Nggak apa-apa, aku sudah ambil arisan kamu. Â Sudah aku wakili, dan teman-teman juga setuju. Â Khan kita sama kita ini. Â Tapi begini, berhubung anakku lagi sakit, jadi arisanmu Rp 2,000,000 itu aku pakai dulu yah buat ngobatin anak. Â Anakku kena DBD say. Â Sing penting kamu sudah dapat arisan," cuek temanku itu menjelaskan.
Wkwkwk...dubrakk...banget itu bagiku. Lha, darimana jalan ceritanya main ambil uang orang saja, itu khan uang arisanku. Â Terus, karena anaknya sakit, lalu uang teman diembat?"
Hambar, sehambar-hambarnya penulis mendengar penjelasan teman yang berasa malaikat penolong, tetapi rangkap jabatan jadi maling sebenarnya.
Dengan rada kesal penulis menjawab ketika itu, "Maaf, bagaimana caranya situ main ambil saja? Â Kenapa tidak tanya aku dulu, minjam secara baik-baik?" tanya penulis.
Percayalah jawabannya ketika itu lebih ngegilai, "Begini, pertama kamu sedang berlibur, dan aku nggak mau merusak liburanmu. Â Lagipula, aku pikir nggak ngaruhlah karena aku minjem untuk berobat anak. Â Kamu khan dekat dengan anakku."
Singkat cerita ketika itu penulis tidak mau berdebat, karena toh uangnya sudah tidak ada. Â Apalagi dengan liciknya kawan penulis ini membawa-bawa anaknya yang memang benar dirawat karena DBD, dan kebetulan juga teman anak penulis. Â Doski tahu banget kalau penulis nggak tegaan.
Tidak tahu persisnya bagaimana, apakah uang arisannya dikembalikan dicicil, sudah lunas atau belum, karena sejak itu persahabatan penulis jadi renggang. Â Ribet urusannya kalau mesti nagih atau mengingatkan bayar hutang, padahal itu uang arisan hak penulis.
Benar kata orang, duit itu nggak kenal teman. Â Lucunya, yang menjauh itu dia, padahal yang ngutang dia pula. Â Makin ngawur, kabar anginnya penulis pelit, dan hitungan banget dengan uang arisan. Â Padahal dipakai oleh teman sendiri untuk berobat anaknya, kok yah tega banget katanya. Â Wkwkwk...koplak nggak sih?
Buat yang setengah mabok mungkin cocok, tetapi buat yang waras pastinya tertawa guling-guling, karena sebenarnya yang rampok dan dirampok disini siapa. Â Ini jadi dilema banget, apa iya kalau kita nggak ngutangin berarti kita jahat, bengis, pelit dan berbagai ungkapan serem lainnya?
Lha...kok penulis jadi curhat lagi, inget luka lama sih. Â Kapok!