Percayalah jawabannya ketika itu lebih ngegilai, "Begini, pertama kamu sedang berlibur, dan aku nggak mau merusak liburanmu. Â Lagipula, aku pikir nggak ngaruhlah karena aku minjem untuk berobat anak. Â Kamu khan dekat dengan anakku."
Singkat cerita ketika itu penulis tidak mau berdebat, karena toh uangnya sudah tidak ada. Â Apalagi dengan liciknya kawan penulis ini membawa-bawa anaknya yang memang benar dirawat karena DBD, dan kebetulan juga teman anak penulis. Â Doski tahu banget kalau penulis nggak tegaan.
Tidak tahu persisnya bagaimana, apakah uang arisannya dikembalikan dicicil, sudah lunas atau belum, karena sejak itu persahabatan penulis jadi renggang. Â Ribet urusannya kalau mesti nagih atau mengingatkan bayar hutang, padahal itu uang arisan hak penulis.
Benar kata orang, duit itu nggak kenal teman. Â Lucunya, yang menjauh itu dia, padahal yang ngutang dia pula. Â Makin ngawur, kabar anginnya penulis pelit, dan hitungan banget dengan uang arisan. Â Padahal dipakai oleh teman sendiri untuk berobat anaknya, kok yah tega banget katanya. Â Wkwkwk...koplak nggak sih?
Buat yang setengah mabok mungkin cocok, tetapi buat yang waras pastinya tertawa guling-guling, karena sebenarnya yang rampok dan dirampok disini siapa. Â Ini jadi dilema banget, apa iya kalau kita nggak ngutangin berarti kita jahat, bengis, pelit dan berbagai ungkapan serem lainnya?
Lha...kok penulis jadi curhat lagi, inget luka lama sih. Â Kapok!