Mohon tunggu...
Destyan
Destyan Mohon Tunggu... Wartawan -

Individu yang 'banting stir' dan kemudian dihadapkan pada fakta bahwa stir tersebut ternyata 'patah'. Lantas berimprovisasi dengan pedoman "As long as the wheels still moving forward, then it still count as a go..." Bisa dilacak keberadaannya di http://bit.ly/1mTP9I5

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada DKI 2017, "Ujian Kewarasan"

21 November 2016   17:33 Diperbarui: 21 November 2016   17:51 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Ini pilpres atau pilgub ya?” seloroh mantan Presiden RI ke-7, Susilo Bambang Yudhoyono kepada para awak media, Rabu (21/9/2016) di Cikeas, Bogor.

Walau terlontar santai kala menyendok bakso, kelakar tersebut jelas bukan tanpa sebab. Lazim didengungkan, Pilgub DKI adalah pilkada beraroma pilpres.

Mudah ditebak, semakin mendekati hari H coblosan, suhu di masa kampanye Pilgub DKI 2017 kian menyerupai mendidihnya Pilpres 2014 lalu.

Ibarat melanjutkan yang lalu, Pilgub DKI 2017 pun ibarat “Ujian Kewarasan” Jilid-II. Namun, ujian yang dimaksud ini bukanlah kepada para pasangan calon gubernur, bukan pula simpatisannya. Kali ini, giliran masyarakat umum ataupun awam yang disodori ujian mental tersebut.

Dikatakan uji kewarasan, karena pada periode inilah setiap pribadi individu bakal diuji kapasitasnya hingga aspek terkecil, mulai dari kestabilan emosional, kematangan bersikap, pola pikir, kearifan mencerna informasi, hingga kualitas silaturahmi, semangat kebangsaan dan lain-lain.

Wajar... Meski legitimasi ajang ini milik individu ber-KTP ibu kota, faktanya Jakarta bukan cuma “milik” para Jakartans. Warga luar yang tinggal dan beraktualisasi di hutan beton ini mau tak mau bakal tersedot gelombang pesta demokrasi tersebut.

Justru, individu yang tak terpaku pada nomor urut satu, dua atau pun tiga itulah yang bakal kena uji. Posisinya di tengah, merunduk, dan jadi saksi desingan mesiu tiap kubu.

Seperti bisa diduga, gempuran paling dahsyat datang dari ranah siber. Dunia maya memang arena paling empuk buat aksi “lempar batu sembunyi tangan”.  Alih-alih menebar pesan informatif, gelombang informasi yang tersaji kian runcing menusuk, provokatif ketimbang deskriptif.

Masyarakat Jakarta jadi sasaran empuk, mengingat warga ibu kota adalah barometer masyarakat modern yang pastinya tak lepas dari konsumsi gadget.

Entah dari mana “pabrik” konten tersebut berasal, motif, pelaku dan siapa penggeraknya, yang jelas dunia maya sesak dengan opini yang tersirat berkubu atau pun anti terhadap calon tertentu.

Buka ponsel, klik aplikasi chat, group chat, atau segala akun media sosial, timeline pun penuh segala macam konten. Opini maut yang dibumbui judul “horor” tak kunjung habis walau terus di-scroll turun.

Seiring waktu... Arus informasi yang kelewat deras dan bombastis tak lagi berbungkus satir dalam santun, namun kian bombastis dan blak-blakan, kasar dalam memaksa menggiring opini publik.

Belum cukup, dosis ujian mental bakal ditambah ketika loper-loper opini di media sosial adalah individu yang kita kenal sendiri. Tes bagi tingkat kematangan individu, menjaga elastisnya tali silaturahmi di balik tajamnya silet pandangan pribadi.

Kala emosi terpancing, urusan pun jadi panjang. Debat kusir kebablasan antar kawan yang bukan tak mungkin sekedar berujung di tombol block atau unfriend. Selesai di dunia maya, putus pula tatap mata di dunia nyata.

Ketebalan perisai hati pun bolak-balik diuji kala membaca komentar-komentar miris dan miring yang mengekor di tiap opini. Kata-kata sumir, hujatan, makian terkesan mudah dilepas dan diobral cuma-cuma.

Eksperimen Sosial

Tanpa ambil pusing siapa nantinya pendulang suara terbanyak, euforia Pilpres atau Pilkada di negeri ini memang lebih menarik kala disimak sebagai sebuah eksperimen sosial.

Cepatnya perkembangan zaman dan semakin canggihnya teknologi online seolah-olah turut menguak peta buta stereotip masyarakat Indonesia selama ini.

Dunia maya ibarat jebakan betmen. Seolah-olah memancing sisi terdalam tiap individu untuk secara tak sadar justru menunjukkan sifat aslinya. Potensi terdalam dari seseorang yang tak tampak di dunia, jadi terkuak di dunia maya. Sikap yang mungkin tak tampil kala tatap muka, justru tersirat di dunia maya.

Dalam eksperimen sosial Pilkada DKI 2017 ini, perbedaan pilihan menuntut tiap individu untuk bisa mengendalikan diri. Terlebih, hasrat bersuara dan berkomentar kian difasilitasi kemajuan zaman.

Berseloroh apa pun lewat ketikan jari memang menggoda. Namun, dunia maya jelas bukan ruang kosong walau terkesan “mati rasa”. Tak jarang kita temui, selorohan berujung tindakan hukum. Pelakunya? Biasanya tak sadar dampaknya akan sedemikian serius.

Lebih mencengangkan, membaca beragam komentar pedas yang lahir lebih karena sentimen sepihak atau faktor berseberangan. Lugas dicerna, seolah-olah pihak yang tak disukainya memang tak sedikit pun memiliki faktor positif atau hal yang baik selama ini. Tak lantas bergumam dalam hati, apakah dirinya sudah turut berprestasi nyata bagi bangsa ini dibanding individu yang dikritik?

Kala kendali diri goyah, urusan SARA, golongan dan kesalahan masa lalu jadi  jalan pintas untuk memukul balik lawan. Ibaratnya, pertandingan tinju tapi kok main kaki.

Bak asmara-buta dua insan, kecintaan pada golongan atau kelompok kerap mensahkan penggiringan logika dan opini demi kepentingan sepihak. Satu opini muncul menusuk, terbit pula opini lain menangkis. Bulutangkis argumen....

Gesekan intensitas tinggi tersebut lantas menimbulkan pertanyaan... Kala euforia pilgub berakhir, akankah dunia maya yang selama ini saling sundul kembali jadi “inspiratif”?

Berkaca dari pilpres 2014 lalu, hal tersebut tampaknya tak serta merta menyudahi pihak-pihak tertentu untuk terus bercocok tanam atau menebar benih provokatif. Usai pesta demokrasi, ranjau-ranjau anti rekonsiliasi nyatanya masih kerap ditebar.

Sayang memang, hidangan pesta demokrasi yang kaya pilihan ini belum dapat dinikmati sepenuhnya, ketika kecondongan atas kesamaan golongan, pilihan, kepentingan dan latar belakang masih terasa lebih mendominasi ketimbang telaah plus-minus dari tiap pasangan yang maju menawarkan diri.

Di sisi lain, jangankan karena faktor agama, ras, suku dan lain-lain... Orang yang koleksi bajunya cenderung bermotif tertentu pun bisa kembali pening, gara-gara potensial diidentikkan dengan pilihan tertentu... hehehe.

Akhir kata, jika pihak netral dalam Pilgub 2017 bisa diibaratkan sebagai partisipan lomba perang bantal di perayaan 17 Agustus, maka untuk bisa bertahan jelas butuh fitnya koordinasi dan keseimbangan fisik, otak, hingga emosi. Luput satu... Tercebur deh ke kolam “huru-hara”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun