Jakarta - Untuk urusan kemeriahan pesta kembang api di setiap pergantian tahun baru, Indonesia cukup 'kompetitif' diantara negara lainnya. Kini giliran MEA yang datang, bagaimana peluang Indonesia?
Untuk urusan ‘keroyokan’ angka populasi jumlah penduduk, Indonesia jelas berhak menyandang predikat ‘undisputed winner’, tapi lagi-lagi muncul pertanyaan klise yang jadi batu sandungan di era globalisasi, apa kuantitas tok masih kompeten untuk jadi yang paling berkualitas?
Jawabannya tentu sulit-sulit gampang, mengingat di dalam hati kecil kita, masih terdapat kekhawatiran apakah SDM bentukan Indonesia, terutama untuk bidang tenaga kerja yang masuk zona-bebas pertukaran antar negara ASEAN sudah cukup kompetitif.
Bisa jadi, MEA ibarat zaman 'perang dingin', dimana pertempuran kualitas SDM memang benar-benar akan atau telah terjadi, walaupun 'apinya' tersimpan dalam 'sekam' bertajuk ‘kepentingan bersama’.
Kerap dikatakan, pemberlakukan MEA yang melibatkan 10 negara di Asia bertujuan untuk secara efektif mempromosikan perdagangan antar-ASEAN, dan membantu wilayah regional tersebut mempekuat serta optimalisasi pertumbuhan ekonomi.
Lagi-lagi, menilik tujuan yang tertuang dalam kalimat tersebut, tampak jelas akan terjadi persaingan SDM di balik terbukanya peluang yang ditawarkan atas akses perdagangan dan tenaga kerja.
Oleh sebab itu, sorotan sesungguhnya di tahun 2016 bukanlah pada semeriah apa penyambutan awal tahun baru 2016 ini, melainkan pada bagaimana Indonesia bertahan di musim awal klasemen negara-negara ASEAN dalam kompetisi yang dijuluki MEA.
Memang, MEA ibarat ‘lagu lama’. Jauh-jauh hari, gaungnya sudah kerap didengungkan. Tapi, secara psikologis bisa jadi tak dianggap cukup serius karena pepatah "sedia payung sebelum hujan" kerap berganti menjadi "sedia payung setelah hujan".
Gampangnya, jika tak disikapi bijaksana oleh sang individu tenaga kerja maupun pemerintah, ibarat bumerang, MEA tentu bisa berbalik arah membawa lebih banyak tantangan dibanding keuntungan di depan mata.
Â
Kawan atau Lawan?