Mohon tunggu...
Destiyan Elviyana Nugraheni
Destiyan Elviyana Nugraheni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam yang bersemangat menjelajahi dunia ide dan kreativitas. Aktif berorganisasi, menyukai tantangan dan hal - hal baru, serta memiliki kecintaan mendalam pada seni menulis. Selalu percaya bahwa setiap kata memiliki kekuatan untuk menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kesenjangan Akses Teknologi di Kalangan Generasi Z

25 Desember 2024   18:57 Diperbarui: 25 Desember 2024   18:59 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital yang semakin pesat, generasi Z kerap digambarkan sebagai generasi yang terlahir dengan kemampuan digital yang mumpuni. Sebutan "digital native" seolah melekat erat dengan generasi yang lahir di era internet ini. Namun, dibalik stereotip tersebut, tersembunyi realita yang jauh berbeda dan seringkali luput dari perhatian publik. Kesenjangan akses teknologi atau digital divide masih menjadi tantangan serius yang membayangi masa depan generasi muda Indonesia.


Pemandangan remaja yang aktif menggunakan smartphone dan laptop memang sudah menjadi keseharian di kota-kota besar Indonesia. Mereka dengan mudah mengakses pembelajaran online, bersosialisasi di media sosial, hingga mengekspresikan kreativitas melalui berbagai platform digital. Namun, potret ini berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di daerah pedesaan dan kawasan tertinggal. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkap fakta mengejutkan tentang masih tingginya kesenjangan penetrasi internet antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di berbagai pelosok negeri, masih banyak dijumpai remaja yang harus menempuh jarak jauh hanya untuk mendapatkan sinyal internet, atau bahkan ada yang belum pernah menyentuh komputer sama sekali.

Pandemi COVID-19 telah menjadi katalis yang membuka mata banyak pihak tentang dampak serius dari kesenjangan digital ini, terutama dalam aspek pendidikan. Ketika pembelajaran jarak jauh menjadi keniscayaan, siswa yang tidak memiliki akses ke perangkat digital dan internet yang stabil menghadapi dilema besar. Mereka berjuang keras mengikuti pembelajaran online, seringkali tertinggal dalam memahami materi, bahkan beberapa terpaksa menghadapi risiko putus sekolah. Kesenjangan ini bukan hanya tentang ketidakmampuan mengikuti kelas virtual, tetapi juga tentang hilangnya kesempatan untuk mengembangkan keterampilan digital yang crucial di era modern, membangun jejaring profesional, hingga memanfaatkan berbagai peluang ekonomi digital yang bermunculan.

Dimensi psikososial dari kesenjangan digital ini juga tidak bisa diabaikan. Remaja yang memiliki akses terbatas seringkali merasa terisolasi dari pergaulan modern dan mengalami krisis kepercayaan diri dalam menghadapi tuntutan era digital. Mereka merasa tertinggal dan kesulitan mengimbangi teman sebaya yang memiliki akses lebih baik, menciptakan kesenjangan sosial yang semakin dalam.

Menyadari urgensi permasalahan ini, berbagai pihak telah menginisiasi beragam upaya untuk menjembatani kesenjangan digital. Pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis melalui Program Palapa Ring yang bertujuan memeratakan infrastruktur internet hingga ke pelosok negeri. Program digitalisasi sekolah dan pengembangan Digital Village juga terus digalakkan untuk membuka akses digital yang lebih luas bagi generasi muda.

Sektor swasta turut mengambil peran penting dalam upaya ini. Berbagai perusahaan teknologi dan telekomunikasi menjalankan program CSR yang fokus pada penyediaan akses internet di daerah terpencil dan pelatihan literasi digital untuk remaja. Inovasi sosial juga bermunculan dari berbagai komunitas dan organisasi non-profit, mulai dari mobile learning center hingga perpustakaan digital keliling, memberikan alternatif solusi yang kreatif untuk menjangkau remaja prasejahtera.

Meski tantangan masih besar, berbagai upaya pengurangan kesenjangan digital ini membawa secercah harapan. Perkembangan teknologi yang semakin terjangkau, dikombinasikan dengan komitmen berbagai pihak, membuka peluang terciptanya ekosistem digital yang lebih inklusif. Namun, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan kolaboratif untuk mencapai hasil optimal.

Ke depan, penguatan kolaborasi multi-stakeholder dalam pengembangan infrastruktur digital menjadi kunci. Pengembangan konten dan aplikasi perlu disesuaikan dengan konteks lokal, sementara program literasi digital harus mampu menjangkau hingga ke daerah tertinggal. Pemberdayaan komunitas lokal sebagai agen perubahan digital juga perlu diperkuat untuk menciptakan dampak yang berkelanjutan.

Kesenjangan akses teknologi di kalangan generasi Z bukanlah permasalahan sederhana yang bisa diselesaikan dalam semalam. Diperlukan komitmen jangka panjang dan kerja sama erat dari berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem digital yang inklusif dan berkeadilan. Hanya dengan demikian, potensi generasi Z sebagai penggerak transformasi digital Indonesia dapat terwujud secara optimal, tanpa meninggalkan siapapun di belakang dalam arus perubahan teknologi yang tak terbendung ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun