Generasi Z sering digambarkan sebagai generasi yang terlahir dengan "smartphone di tangan." Julukan ini seolah menggambarkan betapa dekatnya hubungan antara teknologi dan generasi yang lahir di era digital ini. Namun, benarkah semua generasi Z di Indonesia memiliki privilese yang sama dalam mengakses teknologi? Realitas di lapangan justru menunjukkan gambaran yang jauh berbeda dan lebih kompleks dari yang kita bayangkan.
Kesenjangan digital di Indonesia bukanlah sekadar masalah teknis atau infrastruktur semata. Ini adalah cerminan dari ketimpangan sosial yang lebih dalam dan kompleks. Di kota-kota besar, kita bisa dengan mudah melihat remaja yang dengan fasih mengoperasikan berbagai gadget terbaru, mengakses media sosial tanpa kendala, dan memanfaatkan teknologi untuk berbagai keperluan. Mereka tumbuh dengan kemudahan mengakses informasi, berinteraksi secara digital, dan mengembangkan keterampilan teknologi yang akan sangat berharga di masa depan.
Sementara itu, di daerah pelosok, masih banyak remaja yang bahkan belum pernah menyentuh komputer. Mereka harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan sinyal telepon, apalagi akses internet yang stabil. Kondisi ini menciptakan jurang pemisah yang semakin lebar dalam hal kesempatan dan pengembangan diri antara generasi Z di perkotaan dan pedesaan.
Pandemi COVID-19 telah membuka mata kita semua tentang seberapa dalam jurang kesenjangan digital ini. Ketika pembelajaran terpaksa dilakukan secara online, perbedaan akses teknologi menciptakan dampak yang sangat nyata. Sebagian siswa bisa dengan mudah mengikuti pembelajaran virtual dengan perangkat canggih dan koneksi internet stabil, sementara yang lain harus berjuang keras mencari sinyal atau berbagi gadget dengan saudara mereka. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga tentang kualitas pembelajaran dan kesempatan untuk berkembang.
Lebih dari sekadar pendidikan formal, kesenjangan digital ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan generasi Z. Di era dimana hampir semua aspek kehidupan terdigitalisasi, keterbatasan akses teknologi berarti keterbatasan akses terhadap informasi, pengetahuan, dan peluang pengembangan diri. Bayangkan seorang remaja yang tertarik dengan pemrograman tetapi tidak memiliki komputer untuk berlatih. Atau seorang siswa yang ingin belajar desain grafis tetapi tidak memiliki akses ke software yang diperlukan.
Dampak psikologis dari kesenjangan ini juga sangat nyata dan seringkali terabaikan. Bagaimana perasaan seorang remaja yang tidak bisa bergabung dalam obrolan teman-temannya tentang tren terbaru di media sosial? Atau bagaimana dengan mereka yang tidak bisa mengembangkan hobi dan minat melalui tutorial online seperti yang dilakukan teman-teman mereka? Kesenjangan digital tidak hanya membatasi akses terhadap teknologi, tetapi juga membatasi kesempatan untuk terhubung, bersosialisasi, dan mengekspresikan diri.
Namun, di tengah keterbatasan ini, kita juga melihat lahirnya kreativitas dan resiliensi yang luar biasa. Di berbagai daerah, remaja dan komunitas lokal menciptakan solusi kreatif untuk mengatasi keterbatasan akses teknologi. Ada yang membentuk kelompok belajar bersama, berbagi perangkat, atau mencari tempat-tempat dengan sinyal kuat untuk digunakan bersama. Ini menunjukkan bahwa semangat untuk maju dan berkembang tidak bisa dibatasi oleh keterbatasan infrastruktur.
Yang menarik, kesenjangan digital ini juga memunculkan fenomena adaptasi teknologi yang unik. Beberapa komunitas berhasil memanfaatkan teknologi sederhana dengan cara yang inovatif. Misalnya, menggunakan aplikasi pesan singkat untuk koordinasi kelompok belajar, atau memanfaatkan fitur offline dari aplikasi pembelajaran untuk mengatasi keterbatasan internet. Ini menunjukkan bahwa dengan kreativitas, keterbatasan bisa diubah menjadi peluang untuk berinovasi.
Upaya mengatasi kesenjangan digital membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak. Sektor swasta bisa berkontribusi melalui program tanggung jawab sosial yang fokus pada pemerataan akses teknologi. Lembaga pendidikan bisa mengembangkan metode pembelajaran yang adaptif terhadap keterbatasan teknologi. Komunitas lokal bisa berperan dalam memberikan pendampingan dan pelatihan.
Pemerataan infrastruktur memang penting, tetapi tidak cukup. Kita juga perlu memastikan bahwa teknologi yang tersedia bisa dimanfaatkan secara optimal. Ini berarti perlu ada pendampingan dan pelatihan yang memadai, terutama untuk remaja di daerah yang baru tersentuh teknologi. Literasi digital harus menjadi fokus utama, bukan hanya kemampuan mengoperasikan perangkat, tetapi juga pemahaman tentang bagaimana memanfaatkan teknologi secara positif dan produktif.