Mohon tunggu...
Destini Puji Lestari
Destini Puji Lestari Mohon Tunggu... lainnya -

19.Suka sekali dengan Mayonese. Kuliah di kota Lunpia. Mumpung masih muda, gunakan energi dan pikiran untuk hal-hal positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orion

13 Desember 2012   18:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:43 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu memandangmu seperti ini. Memandang langit malam sambil tertawa.

“Apa menariknya?” tanyaku sambil menuang teh hangat ke cangkirmu. Seperti biasa kamu hanya tersenyum lalu kembali asyik menatap gugusan bintang di langit malam.

“Untungnya setiap weekend kita masih sempat ke villa ini, Bandung selalu memberi sesuatu yang indah,” kamu, lagi-lagi tersenyum. Memandangku dengan tatapan lembutmu.

“Itu namanya rasi bintang biduk atau beruang besar,” kamu mengarahkan jari telunjukmu ke sebuah gugusan bintang di langit utara.

“Dialah yang membantu nelayan menentukan arah utara” katamu lagi. Ah, kamu mirip guruku sewaktu SD dulu.

“Dan coba lihat rasi bintang itu! Namanya gubuk penceng atau crux, lihatlah bentuknya mirip layang-layang ya? Si cantik ini berfungsi untuk menunjukkan arah selatan,” jari telunjukmu sibuk mengarahkannya ke gugusan bintang berbentuk layang-layang di langit selatan.

“Dan kamu tahu, nama-nama yang dimiliki oleh rasi bintang kebanyakan berasal dari nama Yunani. Sejak dulu orang Yunani memang sudah belajar ilmu astronomi. Sebut saja nama-nama seperti Bellatrix, Remus, Regulus, Sirius, Scorpio, Cygnus, Peggasus dan Orion. Semua cantik bukan?”

Aku hanya bisa mengiyakan saja. Toh, nama-nama rasi bintang yang kamu sebutkan tadi memang cantik. Tapi tak apa, meskipun malam ini kamu cerewet sekali, ngobrolin soal rasi bintang tapi aku menyukainya. Aku suka melihatmu dengan binar bahagia yang terpancar dari wajahmu.

“Jangan lihat aku seperti itu, kamu seharusnya melihat itu,” kamu protes karena dari tadi aku tidak mendengarkan penjelasanmu.

Aku terkekeh. Kuambil sepotong wafer dan mulai menikmatinya. Sepotong aku ambilkan untukmu. Kamu tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

“Aku pasti akan merindukan suasana ini,” katamu.

“Di Jepang tak akan ada angin seperti ini, balkon ini, langit ini, rasi bintang ini,”

Dan tak ada aku. Gumamku dalam hati. Lagi, aku ingin memandangmu lagi. sebelum esok burung besi membawamu ke negeri Sakura aku ingin menghabiskan malam bersamamu. Meskipun harus kulewati hanya duduk berdua denganmu. Tak apa.Mendengar suaramu saja hatiku membuncah senang. Melihat sosokmu ada di dekatku membuat semangatku meningkat drastis. Apalagi jika kamu bercerita mengenai bintang-bintang itu. Kamu tak pernah menceritakan hobimu ini kecuali kepadaku. Sungguh itu membuatku merasa menjadi gadis paling bahagia di dunia.

“Selamat malam Monita,” ucapmu kepadaku. Kita saling menutup pintu kamar dan mulai tenggelam dengan pikiran kita masing-masing. Esok…ya esok akan menjadi hari bersejarah untukku. Aku mohon Tuhan, untuk kali ini saja, tolong jangan biarkan air mataku turun.

Soetta, 10 Pagi

Kamu membelikanku dua gelas machiatto lengkap dengan burger tanpa mayonese favoritku. Sepertinya kamu hafal betul kalau aku belum menyetuh makanan sejak bangun tadi.

“Apa yang kamu pikirkan?” tanyamu kepadaku.

Aku menggeleng. “Tidak ada,” jawabku. Hati kecilku langsung berontak, hei bukankah dia yang ada di depanmu ini, semalaman berhasil menguras air matamu?

“Kamu pasti kelaparan,” kamu memandangku sambil menahan senyum. Maaf jika cara makanku kurang sopan, aku memang lapar. Tanpa kuduga kamu mengambil sapu tangan di saku celanamu lantas kamu mengusap saos tomat yang ternyata menempel di pipi kananku.

“Terima kasih,” jawabku ragu. Kenapa? Kenapa sekarang aku selalu salah tingkah jika berada di dekatmu? Dulu aku tidak begitu. Kamu tahu kan? Dulu aku suka sekali memelukmu, mengejutkanmu dari belakang. Aku juga suka sekali jika kamu gendong. Kamu bilang aku ringan sekali, seperti kapas. Kamu suka menakut-nakutiku jika aku tak akan bisa tinggi dan tumbuh besar. Kamu juga bilang kan, jika aku mirip kurcaci. Aku pasti menangis jika kamu mengejekku seperti itu. Ya, tapi itu duluuuuu, dulu sekali saat kita masih berseragam putih merah.

Sekarang? Sudah tak usah ditanya. Semenjak SMA, semenjak kamu berubah dari wajah kanak-kanakmu menuju wajah lelakimu, aku perlahan mulai memperhatikanmu. Sampai awal kita kuliah, kamu sudah seperti candu untukku. Aku harus melihatmu setiap hari, tanpa terkecuali. Ya, setiap detik, setiap menit, setiap jam aku menaruh rindu kepadamu. Sayangnya, kamu tak pernah tahu itu.

“Tak ada pesan terakhir untukku?” tanyamu. Wajahku langsung bersemu merah, aku kehilangan control untuk bicara. Saat itu aku hanya bisa berpura-pura tersenyum dan mengucapkan kata-kata seadanya.

“Jangan lupa makan, jaga kesehatanmu, jangan lupa solat. Kalau pulang nanti, tolong bawakan satu set komik detective conan versi Jepang ya?”

Bodoh! Apa sih yang barusan aku katakan? Seharusnya ini kesempatan terbaikku untuk jujur kepadamu, jujur jika aku benar-benar menyukaimu. Kenapa malah aku jadikan sesi nitip barang? Komik pula! Oh, childish sekali aku….

Kamu tertawa mendengar pesananku. “Sudah tidak ada lagi? sepuluh menit lagi aku take off,”

Aku menggeleng. Lagi! aku mengulangi kesalahan yang sama. Sepertinya aku menangkap raut kecewa di wajahmu. Benarkah? Benarkah itu raut kecewa? Ataukah itu sekedar harapanku saja? Entahlah yang jelas sekarang aku hanya bisa melihatmu mendorong koper dan tas besarmu.

Dia pergi tidak lama. Hanya 8 bulan saja, selanjutnya program student exchange ini akan selesai. Kamu pulang, dan aku bisa melihat lagi binar wajahmu saat melihat gemintang di langit malam. Tenang saja…tak akan lama…

Ponselku berbunyi. Ada pesan baru di layarnya.

Dari kamu

Untuk aku

Jatuh cinta itu selalu menyenangkan, memendamnya yang tidak.

Butiran bening membasahi kedua pipiku. Aku berlari, ya, aku berlari mengejarmu. Aku tak peduli pandangan orang-orang di sekitar kita. aku terus berlari sampai aku bisa berdiri di hadapanmu.

Kulihat kamu kaget tapi senyumanmu perlahan mulai terkembang.

“Aku akan merindukanmu,” kataku. Itu saja yang bisa aku katakan.

Kamu memandangku. Aku memandangmu. Mata kita beradu.

“Terima kasih,” jawabmu. Entah apa yang mendorongku untuk melakukan ini. Apakah malaikat mulai gemas melihat tingkahku? Aku sendiri tak percaya. Saat itu juga aku memelukmu. Akhirnya, akhirnya aku bisa melakukan ini. Memelukmu lagi!

“Maaf, aku mencintaimu, jatuh cinta memang selalu menyenangkan, memendamnya yang tidak,”

Jika aku membawa cermin, pastilah wajahku sekarang semerah udang. Tapi aku melihat binar wajah dan senyummu. Binar bahagia itu sama seperti saat kamu memandang langit malam yang bertabur bintang. Sama seperti saat kamu menganggumi Eridanus, Orion, Sagitarius, dan Capricorn. Mimpikah aku?

“Kamu tak perlu meminta maaf, jika hati sudah saling terikat, siapa yang bisa memisahkannya? Tenanglah aku tak akan lama, jika kamu merindukanku pandanglah langit sebelah barat, disitu ada aku, aku yang selalu akan menjagamu,”

Kamu balas memelukku, mengusap rambutku lembut dan…..mengecup keningku. Sungguh, aku ingin malam segera datang, akan aku cari dirimu diantara ratusan bintang. Tapi itu tak akan sulit karena kamu adalah bintang yang paling terang bersinar di langit malam. Kamulah Orion.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun