Mohon tunggu...
Destini Puji Lestari
Destini Puji Lestari Mohon Tunggu... lainnya -

19.Suka sekali dengan Mayonese. Kuliah di kota Lunpia. Mumpung masih muda, gunakan energi dan pikiran untuk hal-hal positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mereka Bilang Aku, Cantik!

3 Maret 2012   12:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:34 1887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Cantik! Kamu memang beneran cantik, lihatlah bibirmu yang merah merekah itu, sorot matamu yang sayu menggoda, dan dadamu yang sintal itu, aku iri padamu, cantik!”

Aku memandang wajahku di depan cermin. Memang benar apa yang dikatakan Sri tadi siang. Aku cantik, bibirku merah menggoda, mataku indah dan tubuhku sempurna. Aku remaja delapan belas tahun yang sangat beruntung dianugerahi segala keindahan ini.

***

“Cantik, mau berangkat sekolah ya? Yuk abang anter,” goda bang Aji, tukang ojek yang biasa mangkal di ujung gang.

“Cantik,udah punya pacar belum?” celoteh usil dari mulut bang Rizal disambut gelak tawa teman-temannya.

Aku hanya bisa tersenyum semanis mungkin untuk menghormati mereka. Aku tak mau meladeni ucapan-ucapan usil mereka. Itu sudah menjadi hal yang biasa untukku. Bang Aji dan geng-nya memang seperti tak pernah bosan untuk menggodaku setiap pagi.

“Cantikk..suit..suit..hari ini kamu cantik banget sih,”

Aku memandang sebal kearah gerombolan anak laki-laki, teman sekelasku. Mereka seperti ngga ada kerjaan, tiap pagi nongkrong di depan kelas dan asyik menggoda cewek-cewek yang berlalu lalang di depan mereka.

“Cantik, sombong banget sih,” ucap Ryan. Ia mencoba menghalangiku masuk ke dalam kelas.

“Senyum dikit kenapa sih cantik?”

“Maaf..aku harus ke kelas,”

“Oh cantik belum ngerjain Pe er yah?” tanya Ryan, diikuti gelak tawa cowok-cowok kurang kerjaan itu. Mereka tertawa, menampilkan deretan gigi mereka yang kuning akibat pengaruh buruk nikotin.

Ryan mendekatkan wajahnya kepadaku. Cepat, aku menyingkirkan tubuhnya yang kekar itu. Sia-sia. Ryan dan geng-nya malah puas menertawakan aku.

Setiap hari aku selalu digoda. Di jalan, di sekolah, di warung emak. Semua laki-laki sepertinya tak bosan mengoceh usil untuk menggodaku. Memuji aku cantik, memanggil aku cantik.

“Cantik, selepas lulus SMA ini kamu mau kemana?” tanya Sri saat kami asyik membuat aneka kue kering untuk dijual di warung emak.

“Tak tahulah Sri, sepertinya langsung bekerja saja, emak dan bapak kan tak punya uang untuk membiayaiku kuliah,”

“Kerja apa cantik? Emang kamu bisa apa?”

“Entahlah aku juga bingung Sri, keahlianku paling cuma bikin kue-kue seperti ini,” “Ah..itu tak masalah bagimu, kamu kan cantik, pasti gampang dapet kerjaan. Nah aku? Udah jelek, item, pendek lagi, pastilah tak ada majikan yang mau memakai jasaku”

Aku tertawa.

“Sri..Sri kamu iri ya sama aku?”

“Ya iyalah, wong kamu cantik, sedangkan aku ndak,” ucapnya sebal.

“Eh cantik, kenapa kamu nggak nyoba jadi artis aja di ibukota. Kamu kan cantik, wajahmu saja sebelas duabelas kayak Nikita Willy. Enak to kalau udah terkenal, duit banyak, fans banyak,” Sri memandangku dengan mata berbinarnya.

“Ndak ah Sri, mana ada sih produser-produser tv di kota yang tertarik dengan gadis desa udik sepertiku? Mending aku di desa aja Sri, bisa main sama kamu tiap hari,”

Sekarang giliran Sri yang tertawa mendengar jawabanku.

“Memang kamu nggak bosen main sama aku yang jelek ini?”

Aku mengangguk pasti.

“Aku kan teman kamu Sri,”

***

Mentari pagi menyusup melalui celah jendela kamarku. Aku terbangun menahan silau. Segera kusambar Android terbaruku. Ya ampun, aku kesiangan.

Tergopoh-gopoh Neneng, pembantuku yang paling muda mempersiapkan sarapanku.

“Mana jus pisangku Neng? Bukannya semalam aku sudah mengingatkan, bangun tidur jus pisang udah tersedia di meja makan!”

“Maaf..maaf nona, saya kesiangan jadi belum sempat menyiapkan jus untuk nona,” ucap Neneng tanpa berani menatap mataku.

“Dasar pemalas! Satu kali lagi kamu melakukan kesalahan, siap-siap saja kamu packing barang-barangmu dan kembali ke kampung, jadi gadis kampung udik lagi. Mau kamu kayak gitu?”

Pembantu muda itu menggelengkan kepalanya. Ia masih takut untuk memandangku.

“Sudahlah, pergi sana! Aku mau berenang, nanti kalau ada telepon suruh si Benny yang urus,”

“Tapi nona, mas Benny belum bangun,”

“Hah sesiang ini dia belum bangun? sekretaris macam apa dia! Aku nggak mau tahu, pokoknya nggak ada yang boleh menganggu acara berenangku, guyur dia sampai bangun kalau perlu!”

Secepat kilat Neneng berlari ke lantai dua tempat dimana Benny memuaskan mimpinya.

Segera kutanggalkan piyamaku, berganti dengan swimsuit sexy yang sangat pas di tubuhku. Seperti sabtu-sabtu yang lain, setiap pagi aku melakukan olah badan. Entah itu dengan treadmill sambil menonton acara gossip, berenang di kolam renang mewah rumahku, atau jogging mengelilingi perumahan elit dimana aku tinggal.

“Hari ini, lu ada jumpa fans di Mall of Indonesia,” Benny sibuk mengatur schedule-ku. Aku sibuk dengan korset yang makin hari makin susah aja nempel di pinggang.

“Habis itu ada fashion show, ketemu produser film, dan…,”

“Wait! Produser film?” tanyaku kaget bercampur senang. Lipstick merah menyalaku masih asyik bercumbu dengan bibirku yang merekah indah. Ternyata ada job main film lagi, bisa menambah pundi-pundi hartaku nih.

“Iya ketemu Oom India genit itu loh, yang suka bikin film hantu,” Benny memandangku sebal karena memotong ucapannya.

“Film hantu atau film esek-esek?”

“Ya dua-duanya lah, lu kayak nggak tahu aja selera film sekarang, lu manfaatin tuh body semok lu,”

“Jadi ada adegan gituannya?”

“Ye mana gue tahu! Itu kan baru dibicarain nanti siang. Tapi ya menurut pengamatan gue sih, bakalan ada. Banyak malah! Soalnya dari judulnya aja nggak nguatin banget,” jawab Benny sewot. Sekretarisku yang gay ini kenapa sih? Sensi amat hari ini.

“Emang judunya apa?”

“Hantu goyang kolam renang,”

Aku tertawa.Tak adakah judul yang lebih elit dari itu? Tapi tak apalah, yang penting judul itu menjual. Sepertinya film bergenre horror ini akan menjadi awal yang baik buatku. Bermain di film hantu setelah lebih dulu merampungkan film komedi seksual yang berhasil membesarkan namaku.

“Gimana mau diambil?,”

“Ya iyalah, masa’ mau menolak rejeki!Eh gue bagusan pakai yang mana nih Ben?” kutunjukan dua mini dress berbeda warna, merah maroon dan ungu.

“Yang belahan dadanya panjang lebih bagus,”

***

Hingar bingar suara pub di kawasan malam ibukota memang tak pernah ada matinya. Kupesan segelas martini sebagai teman ngobrolku dengan laki-laki keturunan india mata keranjang ini.

“Gimana, you mau terima tawaran saya? Saya jamin you jadi bintang utamanya,” laki-laki itu tersenyum genit.

“Gimana ya om…aku sih mau-mau aja asal…” aku melirik nakal kea rah laki-laki berusia 35 tahunan itu.

“Maksudmu money? Ah tenang sajalah,”

Kami berdua tertawa. Bersulang dan membiarkan minuman laknat itu membasahi kerongkonganku.

“Kamu cantik sekali malam ini,” desah pria itu tepat di telingaku.

Aku hanya tersenyum. Cuih! Sebenarnya aku benci untuk ngobrol dengannya. Laki-laki itu sama sekali tak ada menariknya di mataku. Yah, cuma karena sekarang dia berperan menjadi ladang uangku, mau tak mau aku menerima tawarannya minum di pub kelas atas ini.

“Om, aku mau ke toilet sebentar ya,”

“Baiklah, jangan lama-lama ya cantik,”

Sebenarnya izin ke toilet hanya akal-akalanku saja untuk menghindar sejenak dari Oom genit itu. Aku menyelinap ke belakang pub. Mencoba mencari angin segar. Kunyalakan sebatang rokok, kuhisap dan kunikmati setiap kepulan asapnya. Tak seperti biasanya, bulan terlihat di langit Jakarta. Yah, walaupun kecil tapi aku sungguh menikmatinya. Jika melihat bulan aku jadi teringat gadis itu…

“Cantik, ternyata kamu disini! Dicari tuh sama Oom Shankar,” Jodi, pelayan pub yang kebetulan mengenalku menyuruhku untuk segera menemui laki-laki mata mata keranjang itu.

Aku mengangguk, segera kubuang puntung rokok terakhirku.

“Cantik, akhirnya you kembali juga,” si Oom mata keranjang itu menelanjangi mataku.

“Toiletnya penuh Oom,” jawabku, tentu saja bohong.

“Temani saya minum ya, kali ini saya pesankan yang special buat you,” Oom bernama Shankar itu memberiku segelas Vodka. Minuman mahal, rutukku dalam hati.

“Mari minum,”

Setelah bersulang, kami menenggak habis minuman setan itu.

Tiba-tiba kesadaranku perlahan-lahan mulai menghilang.

“Bangsat, pasti si India gila ini menaruh sesuatu di minumanku,” umpatku dalam hati. Tak sampai sepuluh menit, pandanganku mulai kabur.

Suara hentakan music membuatku semakin kehilangan arah. Aku berubah beringas. Belasan gelas bir berhasil kutenggak habis. Kudengar beberapa pengunjung pub beringsut mendekatiku. Mereka ternyata menikmati aksiku yang kesetanan, menenggak lima belas bir dalam satu malam! Edan!

Aku merasakan tubuhku bergoyang mengikuti alunan musik yang semakin merangsang. Aku berjoget, bergoyang dengan siapa saja, lelaki, perempuan, gay, lesbi semua aku sikat. Beberapa bibir telah berhasil kulumat. Mau bule atau pribumi aku tak peduli. Bahkan si india gila berhasil mencuri tubuhku. Yah, walaupun singkat. Ia menyikat habis bibirku, dengan penuh nafsu ia meremas dadaku, mencumbu wajahku berkali-kali. Aku masih tak peduli. Semua bersorak saat aku menguasai lantai dansa. Malam ini aku benar-benar kesetanan.

“Cukup, mari kita pulang cantik,” seseorang menggamit lenganku. Menyeretku keluar dari gerombolan setan-setan dunia. Aku muntah tepat di depan pub. Berjalan sempoyongan kesana kemari.

“Aku bisa pulang sendiri,” gumamku.

“Tak mungkin dengan keadaanmu yang kacau seperti ini, malam ini kamu menginap saja di apartemenku, deket kok dari sini,” ucap laki-laki itu. Aku mengamati wajahnya. Dalam keadaan setengah sadarku aku tahu kalau ia laki-laki pribumi.

“Aku nggak kenal kamu..” ucapku lirih.

“Tenang saja, aku hanya ingin menolongmu keluar dari serigala-serigala malam itu,”

Malam semakin larut. Aku terduduk di jok belakang sebuah mobil, entah dengan siapa. Aku mabuk, aku berantakan, dan aku tidak pulang.

“Cantik, aku tahu kamu pasti bakalan pergi ke ibukota, wajahmu yang cantik itu terlalu berharga untuk kamu simpan di desa kecil kita. aku berharap kelak di kota kamu mendapatkan apa yang kamu cita-citakan, jaga kesucianmu selalu, cantik. Ya, jangan membuat dirimu hina hanya karena nafsu semata, apalagi karena tawaran harta. Jangan pernah kamu tanggalkan jilbab putihmu, itu satu-satunya perisai dirimu di sebuah kota yang serba mengedepankan duniawi. Aku disini, selalu berdoa untukmu, cantik. Karena aku temanmu,”

Subuh menjelang. Aku duduk bersimpuh di depan jendela sebuah apartemen mewah. Semburat merah mewarnai langit Jakarta. Ibukota yang terlihat damai di pagi hari. Aku menangis mengenang ucapan Sri, sebelum aku berangkat ke Jakarta. Sebelum aku dibawa tante Mutia, yang mengorbitkanku menjadi artis ibukota. Sri, gadis desa yang lugu itu memberiku sebuah kerudung putih yang dibungkus dengan tas kresek kumal.

“Khusus buat kamu, aku tulis namamu disini, cantik,”

Honda Jazz berwarna silver itu perlahan membawaku ke sebuah kota bernama Jakarta. Meninggalkan semua kedamaian kampung ini….meninggalkan seorang gadis lugu bernama Sri.

Dear cantik,

Maafkan aku, semalam kamu mabuk. Aku membawamu ke apartemenku karena aku tak mungkin mengantarmu pulang. Cantik, sungguh dalam keadaan kacau pun kamu terlihat cantik. Sejujurnya malam itu aku berjanji untuk tidak mengganggumu. Aku kasihan padamu, cantik. Semalaman kamu dijadikan bulan-bulanan oleh laki-laki hidung belang di pub itu. Bibirmu, dadamu, wajahmu menjadi mangsa mereka. Mereka puas dengan aksi seronokmu. Menari dengan setengah telanjang! Aku kasihan padamu cantik, maka kubebaskan kamu dari para serigala malam itu.

Cantik…

Sebenarnya malam itu aku ingin menjagamu. Aku tak mau menyetuhmu. Tapi sayang cantik, mungkin karena kodratku sebagai lelaki, aku tak kuasa menahan nafsuku saat melihatmu tertidur di atas ranjangku. Rambutmu yang hitam panjang itu tak sengaja tersibak oleh gerakan tanganmu, memperlihatkan tengkuk indahmu. Bibirmu yang merekah indah sungguh menggoda. Apalagi saat kulihat dada sintal itu, nafsuku tak bisa kubendung lagi.

Maafkan aku cantik,

Mungkin, mereka, para hidung belang di pub itu berhasil menguasai bibir, wajah, dan dadamu. Tapi aku lebih hebat dari mereka. Aku berhasil menelanjangi tubumu! Maafkan aku cantik, malam ini aku menanggalkan kesucianmu.

Sekarang, jangan kau cari aku. Mungkin saat kaubaca surat ini, aku sudah mengangkasa bersama burung besi yang membawaku ke negeri seberang. Negeri nan elok bernama Eropa. Cari aku jika kamu mau.

Tanpa kusadari aku jatuh cinta padamu, cantik!

Aku meremas kertas putih yang ditulis dengan tinta hitam itu. Aku menangis. Aku merasa menjadi wanita paling kotor sedunia. Nasihat Sri untuk selalu menjaga kesucianku sebagai wanita kembali terngiang. Bersahut-sahutan antara telinga kanan dan kiri. Aku pusing.

Cantik!

Cantik!

Cantik!

Cantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantikcantik!

Tiba-tiba aku merasa benci dengan kata ini. Cantik telah merebut semuanya dariku. Aku benci menjadi cantik! Aku benci dipanggil cantik! Aku benci dipuji cantik!

Sebuah foto terjatuh dari sebuah ranjang. Foto gadis berjilbab putih dengan senyum manisnya.

“Kemana jilbab itu cantik?”

Aku mendengar suara adzan subuh mengalun syahdu dari masjid di tengah kota….

Ibu, mengapa kamu memberiku nama, Cantik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun