Mohon tunggu...
Desti Noer Ambarwati
Desti Noer Ambarwati Mohon Tunggu... Guru - Pelajar

Jangan lupa bersyukur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis yang Malang

30 September 2019   07:57 Diperbarui: 30 September 2019   18:47 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Reni, umurku baru akan menginjak dewasa tetapi tanggung jawabku sudah seperti orang dewasa. Aku terlahir dari keluarga istimewa dan aku mempunyai seorang adik yang umurnya 7 tahun lebih muda dariku. Pada saat aku menginjak kelas 4 SD, aku pindah ke Bandung kerumah nenek. Karena saat itu, aku ingin sekali sekolah disana. 

Sampailah aku dirumah nenek di Rajamandala. Banyak sekali yang berbeda disini, sudah lama aku tak melihat suasana ini kecuali setiap tahun selepas Hari Raya. Dirumah, aku tinggal bertiga bersama nenek dan adikku. Sedang ayah dan ibuku bekerja. Ayahku tetap kerja di Karawang sedang ibuku di Bandung. Awalnya aku tak bisa hidup seperti itu, aku selalu menangis ketika di tinggal keduanya bekerja. Ketika aku mulai dewasa, aku sudah mulai menyadari dan sudah mulai kuat dengan kehidupan yang aku alami.

Tahun demi tahun berganti, sampai aku mulai beranjak semakin dewasa dan kini aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Kala itu, nenekku sering sakit walaupun hanya sakit maag, namun ia tak pernah merasakannya, ia selalu mengabaikannya. Semakin hari, semakin cepat perubahan fisik nenekku, yang asalnya ia gemuk sekarang hanya tersisa kulit dan tulang yang keriput akibat racun dari penyakit maag yang semakin kronis. Nenekku sering berobat rutin namun tak di rawat, ia tidak mau meninggalkan cucu-cucunya dirumah yaitu aku juga adikku.

Ketika libur Idul Adha, aku berlibur kerumah ibuku di Bandung karena ibuku merasa kesepian saat itu, namun adikku tetap dirumah bersama nenekku.

     "Aku akan pergi ke Bandung ke rumah mamah dan sepertinya sampai hari raya Idul Adha" aku meminta izin.

     "Oh iya silahkan, hati-hati di jalan" nenekku mengizinkan.
Akupun pergi meninggalkan rumah.

Setelah 2 hari aku di Bandung, seperti biasanya ketika matahari terbit di ufuk timur, aku bersiap-siap untuk pergi ke pasar membantu ibuku jualan. Tiba -tiba, handphone ku berbunyi.
     "Cepat angkat, siapa tahu penting." kata Ibuku.
     "Halo, ada apa ya teh?" dengan rasa penasaran.
     "Cepatlah pulang! Sakit nenekmu kambuh."
     "Ba-baiklah... besok pagi aku pulang." dengan nada terbata-bata.
Telepon pun di tutup.
     "Ada apa, nak?" ibuku bertanya.
     "Besok aku harus pulang, nenek sakit lagi."
     "Ya sudah, sekarang kamu pulang kerumah. Siapkan barang-barang mu untuk pulang."
     "Baik, bu." jawabku lirih.

Keesokan harinya akupun pulang. Di perjalanan aku selalu memikirkanNya, aku takut terjadi apa-apa. Sampailah dirumah dan menginjakan kakiku ke lantai yang amat dingin lalu melihat nenekku yang tertidur pulas dengan keadaan lemah. Aku sempat menyesali kala itu aku harus ke Bandung dan melewatkan sholat Idul Adha bersamanya.

Melihat keadaannya, saat ini nenekku masih mampu untuk berjalan, namun tak kuat melakukan apapun. Akhirnya segala urusan rumah aku yang mengerjakan.
     "Hari ini berbeda dengan hari-hari biasanya." gumam hatiku.

Di ruang tamu semua orang sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan saat ini. Ayah, ibu dan keluarga memutuskan untuk membawa nenekku kerumah sakit.

Nenekku dirawat di rumah sakit Cibabat. Sedang aku dan adikku tinggal dirumah berdua. Keadaan rumah sepi tiada tawa dan cerita yang mengiringi malamku saat itu. Namun aku harus kuat demi sang adik.

Suara ayam berkokok telah terdengar, adzan berkumandang secara bergantian.
     "Huaaaa." Menutup mulutnya.
     "Jam berapa sekarang?" melirik ke jam dinding di hadapannya.
     "Ya ampuuunnn." berlari ke dapur.
     "Seandainya nenek sehat, pasti aku tak susah payah masak di pagi hari." batinnya.
     "De, bangun. Sudah siang." menepuk-nepuk pundaknya
     "Hemmm..."
     "Teteh berangkat dulu ya, makanan sudah disiapkan di meja makan."
     "Iya." kembali tidur.
Akupun berangkat sekolah dan meninggalkan adikku yang sudah aku bekali makanan.

Setalah seminggu dengan rutinitas yang baru, aku mendapat telepon katanya nenekku dikabarkan akan pulang, karena nenekku mengalami komplikasi penyakit sehingga dokter sudah tak sanggup lagi. Aku pun bergegas membereskan rumah karena pasti banyak orang yang pergi ke rumahku untuk menjenguk beliau.

Sampailah nenekku dirumah, orang-orang berlalu lalang bergantian melihat keadaan nenekku. Aku senang ia bisa pulang tandanya aku tak lagi berdua dirumah. Sayang, nenekku tak mampu lagi untuk berjalan, kakinya bengkak akibat infusan. Kini tugasku bertambah selain dari sekolah dan mengurus rumah, akupun harus mengurus nenekku.

Ayam berkokok menjemput mentari, hari-hari terus berganti, semakin hari bukan semakin membaik keadaannya, tetapi sebaliknya. Beribu cara sudah dilakukan ayahku untuk bisa membuatnya sembuh. Jangankan sembuh, makan saja sudah tak mau, bahkan membuka matapun sudah tak mampu. Aku dan keluarga hanya bisa pasrah kepada sang ilahi.

     "Nek, cepet sembuh nanti aku sama siapa?" kata adikku sembari melihat nenekku yang tertidur pulas.
     "Kasihan adikku." batinnya. 

Bulan pergi meninggalkan gelap, matahari pun muncul di ufuk timur. Tandanya aku harus siap-siap pergi ke sekolah. Tak ada firasat buruk apapun saat itu. Ketika aku pulang, tiba tiba aku di telepon katanya aku harus cepat sampai dirumah. Timbullah rasa tidak enak hati dan pikiranku kacau saat itu.

     "Kenapa aku disuruh cepat pulang ya?" batinnya.
Kring... kring...
     "Ada apa ya dia menelepon ku?" merasa heran, "halo?"
     "Nenekmu..."
     "Ada apa dengan nenek?" tanyaku.
     "Dia sudah..." nada terbata-bata
     "Sudah apa?" matanya memerah.
     "Sudah tiada"
     "Innalilahi wa innailaihi raji'un" kataku dengan lirih.

Ketika sampai, air mataku jatuh membasahi pipiku. Rumahku ramai, dengan duka. Hatiku sakit bagai angin malam yang menusuk dadaku. Aku segera berlari kerumah dan sujud di depan beliau. Aku menangis dan meminta maaf kepadanya.

     "Kenapa Engkau ambil orang yang aku sayangi?", "lalu rumah ini?", "bagaimana denganku, pun adikku?" batinnya sembari mencium kening beliau.

Hari itu juga, setelah sholat Isya beliau di makamkan dihalaman rumahku. Aku tak mampu membendung air mataku. Tapi apa daya ini semua sudah ditakdirkan oleh yang Maha Kuasa.

Semenjak itu, aku tinggal dirumah bersama adikku. Aku tak punya pilihan lain memang itu jalan hidupku. Sedih rasanya, meratapi kehidupan yang sangat pahit daripada yang lain. Berada jauh dengan orang tua dan mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan sendiri.

Aku berjalan ke kamar.
     "Hari ini hari dimana kehidupan yang sebenarnya dimulai." batinnya.
Akupun mengambil selembar kertas dan pena, lalu kutuliskan kata demi kata keluh kesah ku di kertas putih itu.

Terkadang aku merasa lelah. Lelah dengan kehidupan yang aku jalani saat ini. Aku merasa muak. Muak dengan segala jenis sandiwara yang ada di hidup ini. 

Aku hidup tapi terasa ada yang kurang, seperti sebagian jiwaku hilang entah kemana. Aku hidup tapi terasa sepi, seperti di tengah kerumunan namun tak ada seorangpun yang benar-benar ku kenal. Aku hidup terasa mati. Hari yang ku jalani berlalu begitu saja, tanpa ada sesuatu yang berarti. Hidup macam apa ini? Apakah ini hidup yang aku inginkan? Hingar bingar dunia begitu memekakkan telingaku. 

Gemerlap dunia serasa membutakan mataku. Keegoisan dan keserakahan menyeruak dan menyesakkan dadaku. Aku pernah mendengar orang bijak berkata, "Dunia yang indah adalah dunia dimana kita ada didalamnya". Aku rasa kalimat itu memang ada benarnya. 

Dulu saat aku masih begitu kecil dan naif, aku berfikir jika menjadi tumbuh dan dewasa itu menyenangkan, tapi tidak. Bukan aku tidak bersyukur namun itulah keluh kesah ku. 

Jika aku bisa kembali menjadi anak kecil yang naif lagi, mungkin aku memilih takkan pernah berfikir jika menjadi dewasa akan menyenangkan. Mungkin jika aku bisa kembali pada waktu dimana semuanya hanya ada tawa dan bahagia takkan ku sia-siakan setiap detiknya. 

Karena bagi diriku, menjadi tumbuh dan berubah sangatlah menyakitkan. Aku rindu saat dimana aku hanya berfikir untuk bermain dan bersenang-senang. 

Aku rindu masa itu, masa dimana tertawa dan bahagia semudah mengedipkan kelopak mata. Aku rindu masa itu, dimana kasih sayang kedua orang tuaku terasa hangat dan membuatku kuat. Aku rindu, rindu semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun