Mohon tunggu...
carolina destika
carolina destika Mohon Tunggu... Lainnya - menulis sepanjang hari

komitmen untuk senantiasa memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Puluh Tujuh Hari Sejak Senja Itu Pergi

30 November 2020   17:35 Diperbarui: 30 November 2020   17:43 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Ahad tanggal 1 November 2020. Senja itu pertama kali membawa keluarga keluar rumah dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Bermain pasir di pantai menjadi pilihan karena berharap tak terlalu banyak orang berkerumun. Disamping itu segala hal tentang laut selalu menimbulkan kerinduan untuk didatangi.

Di sepanjang tepian pantai Sigandu banyak kedai-kedai dengan keunikan masing-masing. Kendaraan keluarga kami menyusuri jalan dari arah PLTU Batang, tak menemukan tempat yang dirasa tepat. Ketika melewati Kedai Dewi Dewi,  kami segera berbelok dan memilihnya karena tidak terlalu ramai.

Sedangkan keluarga Mas Adi dari arah berlawanan sudah melirik Kedai Dewa Dewi namun tidak tertarik. Lanjut menyusuri jalan kearah PLTU Batang tak menemukan tempat yang cocok hingga putar arah dan menuruti pilihan Loli yang ternyata adalah Kedai Dewa Dewi tempat keluarga kami lebih dulu berada. Terjadilah pertemuan  tak terencana itu.

Waktu itu senja cepat sekali hadir. Mentari perlahan tenggelam meninggalkan sinarnya yang mulai temaram. Sejauh mata memandang terbentang air bergelombang menyentuh  ujung cakrawala. Senja di Pantai Sigandu sore itu menyisakan petang yang redup menanti sang rembulan menggantikan cahaya mentari yang telah pergi.

Keremangan senja itu tak menghentikan keceriaan dua bocah bermain pasir. Celoteh dan tawa terdengar diantara deburan suara ombak dan gemericik air yang mengiringinya. Tak peduli tangan, rambut dan baju yang berlumur pasir.  Seakan tak hendak ada yang boleh menghentikan keseruan itu.

Dokpri
Dokpri
Kebersamaan itu  menyimpan sejuta kenangan. Kebahagiaan dalam binar mata kerinduan karena lama tak bersua.  Berpijar cahaya disekeliling membuat terpana siapapun yang melihatnya. 

Tak mampu mengajak dua bocah itu menyudahi permainan karena tak tega. Bergulir hingga waktu sholat maghrib hampir habis. Keduanya segera membersihkan diri dan berwudhu.

Dokpri
Dokpri
Selepas sholat maghrib sendok pasir, cetakan kepiting dan pesawat, mangkuk dan wadah plastik kembali tergelar. Sepertinya malam bukan halangan untuk kembali bermain bersama untuk rindu yang belum sempurna terlampiaskan. Basah bukan masalah,  pasir  tak menjadi soal pun cerewetan para orang tua mengajak mereka pulang tak membuat mereka beranjak.

Bulan tak kunjung datang menampakkan sinarnya. Rasa cemas mulai hinggapi hati sebab angin pantai yang semakin kencang. Mendung bergelayut, awan gelap bergumpal bergerak perlahan ditiup angin. Tak cukup waktu sekejap menghapus rasa rindu yang menggebu.  Tangan-tangan mungil itu mulai mengambil pasir, menggali dan membuat gundukan bermain kembali tak memperdulikan malam yang mulai menjelang.

“Aku seneng banget ketemu kamu Loli,  hari ini aku bahagia….”  Kata Rifda.

“Iya aku juga seneng ketemu kamu Rifda, yuk maen lagi.”

Siapa yang tega memenggal kebahagiaan itu ?  Setelah kebersamaan semasa tk bersama ustadzah tercinta  tercerabut.  Acara wisuda yang dinantikan tak terlalu berkesan karena hanya online. Hari-hari berikutnya hanyalah sebatas dinding rumah dan lingkungan sekitar. Karena pandemi membuat hati gemetar bila jauh keluar rumah.

Gerimis yang sudah diduga, turun rintik-rintik. Tak seberapa lama  menjadi hujan yang semakin deras. Pengunjung pantai yang masih tersisa segera berlarian kearah bagunan serupa aula yang tersedia. Mas Adi mengambil tikar diatas pasir dan menggelarnya di pojok sebelah timur. Tak cukup dengan itu, kursi lipat dipasang. Mainan Loli dan buku-buku dikeluarkan dari dalam mobil seakan waktu menunggu hujan masih akan lama.

Dokpri
Dokpri
Selanjutnya adalah obrolan ringan sambil melihat tingkah dua bocah itu bermain dan membaca buku. Beruntung Rifda dan Loli membawa bekal makan malam, tapi tidak yang lainnya.  Perut kami mulai berkeroncongan menandakan rasa lapar mulai melanda.  Kedai makanan yang tadi ramai dan  membuat kami malas mengantri,  kini telah tutup. Hujan sudah mulai reda harus ada acara mengajak mereka segera pulang.

Bujuk rayu tak mempan. Lampu mati tak membuat mereka mau diajak pulang. Apalagi tak seberapa lama lampu hidup lagi. Mereka berdua lanjut merajut cerita khas celoteh anak tk (meski sekarang kelas 1 sd tapi masih seperti tk). Terakhir kusampaikan bahwa kita semua bisa kesini lagi suatu saat nanti. Janjian ketemuan di waktu yang tidak terlalu sore dan bermain bersama lagi.

Alhamdulillah akhirnya mau dengan syarat, mau berfoto dulu. Semua bersabar menunggu dua bocah perempuan itu berfoto dengan berbagai gaya. Tak ada keluh meski perut terus menagih untuk diisi. Getar didada turut gembira dan membiarkan mereka berdua mengalirkan isi hati dalam berbagai ekspresi.  

Dokpri
Dokpri
Kami meninggalkan Kedai Dewa Dewi diiringi adzan isya’ yang mulai berkumandang. Diiringi teriakan dari Loli dan Rifda bahwa kapan-kapan maen bersama lagi. Senyum dan lambaian tangan dilepaskan sebelum jendela kaca mobil di tutup karena angin malam yang semakin dingin.

Itulah kenangan terakhir bersama Mas Adi. Meski keluarga kami tidak terlalu dekat sebelumnya, dua bocah perempuan kami yang bersahabat membuat kami merasa akrab. Aku berjanji dalam hati merencanakan kembali ke pantai ini pada suatu hari.

Hari Senin tanggal 23 November 2020. Tak ada kabar sebelumnya yang kami dengar, ketika mendapatkan berita bahwa Mas Adi dirawat di suatu rumah sakit.. Ingatan akan beberapa teman yang sembuh karena sakit serupa menyingkirkan rasa khawatir. Berharap doa-doa dipanjatkan dan usaha yang dilakukan memberi kesembuhan. Semoga seluruh penyakit diangkat dari diri Mas Adi dan sehat seperti sedia kala.

Hari Jumat tanggal 27 November 2020. Manusia merencanakan Tuhan yang menentukan. Tak ada yang dapat dilakukan ketika Dia berkehendak.  Serangan penyakit itu tak dapat dikendalikan. Mas Adi tak dapat bertahan. Air mata luruh tak dapat di tahan. Ruh yang suci itu kembali memenuhi panggilanNya. Alloh Yang Maha Rahim mengangkat segala rasa sakit dan penderitaan atas penyakit yang tak seberapa lama di derita.

Selamat jalan Mas Adi, semoga Alloh mengampuni dosa-dosa selama di dunia. Menerima segala amal kebaikan dan menggantinya dengan pahala. Semoga cahaya menerangi alam kuburmu selama masa penantian sesuai amal kebaikan yang telah engkau lakukan.

Untuk Loli dan Mommy teriring doa semoga Alloh mengilhamkan kesabaran dan keikhlasan. Kemudahan dalam menjalani perjalanan hidup yang tersisa. Semoga Alloh melindungi dari segala marabahaya, memberikan rizqy dan sehat selalu.

Kenangan itu menyimpan sebuah cerita dari Mommy Loli, bahwa tak biasanya Mas Adi membiarkan Loli bermain sepuasnya hingga malam hari. Dibuai angin pantai yang dingin, kotor oleh pasir yang menempel di sekujur tubuh. Melayani berfoto ria sampai puas.

Baru tersingkap rahasia setelah dirinya pergi. Ia ingin meninggalkan suatu kebersamaan yang tak habis untuk dikenang. Peristiwa itu membekas dalam sanubari, foto antara Rifda dan Loli menceritakan kembali kisah itu bagai film yang tayang di depan mata. Semoga Alloh mempertemukan kembali kami semua nanti. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun