Masih hangat terasa di perut suapan nasi hangat bersama oseng kacang panjang dan tempe selimut 35 tahun silam. Bintang, Bulan dan Matahari antri disuapi.
Duduk bertiga di teras rumah dibawah hembusan angin semilir yang menentramkan hati. Tenang dalam naungan cinta di setiap suapan yang mendarat di mulut.
Bersamamu cinta bertebaran dimana mana. Pun pada pohon mangga yang berbuah ayam...
upps....emang ada ?
Di halaman belakang rumah ada pohon mangga, setiap tiba waktu maghrib ayam ayam yang kau pelihara naik ke atas pohon agar selamat dari gangguan binatang malam. Dari ayam ayam itu kau ambil telurnya, sesekali kau potong demi memberi gizi untuk pertumbuhan anakmu.
Makanya banyak ranjau di bawah pohonnya yang berasal dari ayam-ayam yang dipelihara
Cinta yang ada padamu tak ada habisnya. pada kayuhan sepeda menuju ke pasar. Demi mendapatkan sayuran, wortel dan pisang. lagi-lagi kau ingin anakmu mendapat gizi sempurna.
Pada setiap kayuhan sepeda yang jauhnya membuat bokong terasa pegal tiada tara. kau bawa anakmu satu persatu ke puskesmas. Demi mendapatkan obat panas, batuk dan pilek yang menyerang tubuh ringkih.
Jangan dikira tak ada cinta pada seonggok cucian yang kau bawa ke kali.
Karena air sumur rumah kita di penuhi buluh bambu yang gatal bila kena kulit sang buah hati.
Pada setiap langkah menyusuri pematang sawah menuju sungai yang airnya melimpah kau taburkan cinta berbongkah bongkah pada setiap baju yang kau kumbah.
Cintamu tertanam sangat dalam pada sanubari hingga terasa sampai bila bila nanti. Bersemayam di lubuk hati menghiasi jalan hidup. Banyaknya cinta yang kau tempatkan sejak dulu, kan mengalir untuk keturunan kelak tak kan ada habisnya.
Terima kasih ibu dan bapak, kau wariskan cinta untuk diturunkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H