Lirih saya ulang-ulang doa itu dalam hati. Dalam kepasrahan, dalam keberserahdirian. Saya sudah benar-benar pasrah. Sudah tidak ada jalan. Sudah tidak ada celah mencari bantuan. Satu-satunya hanya minta ke Allah.
Keluarga pasien satu per satu terus dipanggil. Keluarganya menyerahkan selimut, keluarganya keluar, diantar kembali ke ruang rawat inap. Sampai seseorang dari ruang operasi keluar, memanggil saya dan ibu. Saya berjalan cepat. Diajak masuk. Rupanya, beliau dokter yang mengoperasi ayah. Beliau hanya memberitahu proses operasi telah berjalan dengan baik dan tanpa kendala. Setelahnya, kami keluar lagi, duduk lagi, menunggu. Tidak diminta selimut seperti yang lain. Mungkin belum, pikir saya.
Sambil masih terus berdoa dalam hati, lewatlah sebuah brankar dari arah sebrang. Dibawa dua orang perawat. Di bawah brankar itu saya lihat dengan jelas, ada lipatan selimut rumah sakit.
Saya tambah kencang berdoa saat brankarnya lewat depan mata saya, Ya Allah, semoga brankar ini menjemput ayah saya. Ada selimutnya soalnya.
Daaan, benar!
Salah seorang perawat menyebut nama ruangan rawat inap kami. Itu brankar yang menjemput ayah! Perawat memanggil saya, beliau menjelaskan perihal keadaan pasien. Dan bertanya, "Ada selimutnya?"
Saya menggeleng, tidak ada.
"Nggak apa-apa, ini ada kok," katanya.
Beberapa detik saya mematung, Ya Allah...
Mungkin ini hanya hal sepele. Bukan apa-apa. Apalagi ceritanya, biasa saja. Tapi, perjalanan batiniah yang saya rasakan, kaya sekali. Pelajaran untuk bergantung total ke Allah itu benar-benar nyata dibayar lunas. Dengan cara yang kita tidak pernah bisa tebak.
"Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sendal sekalipun" (HR. Al Baihaqi).