Masih ingatkah pada satu tragedi memilukan di dunia pendidikan kita? Ya, dua tahun silam, pada bulan September terjadi tawuran yang memakan korban antara SMA 6 dan SMA 70 Jakarta. Mari sejenak kilas balik kejadian naas itu, untuk kita ambil pelajaran berharga.
Korban tawuran itu bernama Alawy, siswa SMA 6, dan tersangka pembunuhnya berinisial FR alias Doyok siswa SMA 70, yang sebelumnya menjadi buronan polisi hingga akhirnya tertangkap di Jogjakarta. Melalui wawancara eksklusif di salah satu stasiun televisi swasta, FR mengakui kesalahannya dan menyatakan penyesalan terdalamnya, serta meminta maaf kepada keluarga korban. Tapi sayang, permintaan maaf itu tidak bisa mengembalikan nyawa korban.
Selanjutnya televisi swasta tersebut menyuguhkan talkshow tentang profil FR. Narasumber yang dihadirkan adalah Kak Seto, yang dikenal publik sebagai pemerhati anak. Kak Seto telah terlebih dahulu bertemu FR dan sempat berbincang mendalam dengannya. Kak Seto mengatakan bahwa ini bukan pertama kalinya FR berurusan dengan kepolisian. Sebelumnya FR pernah tertangkap juga karena kasus kenakalan remaja.
Kak Seto juga mengungkapkan bahwa sebenarnya FR adalah anak pintar. Ia sering menduduki peringkat atas di sekolahnya untuk bidang akademis. Hanya sayang, ia salah pergaulan, lingkungan yang membawa pengaruh besar pada FR hingga ia berlaku berandalan. Sayangnya, buah laku tersebut tidak hanya merugikan dirinya, tapi juga mencoreng keluarganya, mempermalukan sekolahnya, terlebih sampai menghilangkan nyawa 'musuh'nya.
Tawuran memang kadung 'membudaya' pada pelajar Indonesia, dan telah banyak makan korban. Ironisnya, seringkali malah pelajar ibukota yang menggelar perang. Padahal, lokasi mereka tidak jauh dari Istana Negara, lebih spesifik lagi tidak jauh dari kantor Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada kedua tempat tersebutlah, kebijakan pendidikan digagas dan diinstruksikan untuk dilaksanakan oleh setiap sekolah, satuan terkecil dari birokrasi pendidikan negeri ini.
Bicara kebijakan pendidikan, pemerintah sebenarnya sudah membangun aturan yang sangat baik. Tujuan pendidikan Indonesia menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal ini diperkuat juga dalam Misi Pembangunan Nasional, dimana pendidikan karakter menjadi misi pertama dari delapan poin misi.
Kedelapan misi pembangunan tersebut dirumuskan untuk mewujudkan Visi Pembangunan Nasional. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007, Visi Pembangunan Nasional tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, yaitu terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.
Turunan dari aturan tersebut di atas adalah dicanangkannya Kurikulum Berbasis Akhlak Mulia pada 2011. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, pada sebuah forum pernah menyatakan bahwa pengembangan kurikulum berbasis akhlak mulia dilakukan dengan menanamkan moralitas dan akhlak mulia dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan di kelas. Karenanya setiap guru mata pelajaran, wajib memasukkan pembelajaran tentang karakter, dan ini harus tersurat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh setiap guru sebelum mengajar.
Aturan yang telah paripurna sebenarnya, namun sayang belum teraplikasi secara paripurna juga pada setiap siswa. Tawuran yang sampai menewaskan pada kasus di atas, menjadi bukti pendidikan karakter di negeri ini belum berjalan dengan optimal.
Memadukan Rumah Dengan Sekolah
FR, siswa SMA 70, yang saat itu menjadi tersangka terbunuhnya Alawy, siswa SMA 6, sebenarnya adalah seorang anak dengan potensi kecerdasan yang baik, namun tidak memiliki lingkungan yang baik untuk merawat kecerdasan sosialnya. Dan, bicara tentang lingkungan, rumah adalah wilayah terkecil tempat anak berinteraksi, juga tempat terkecil dimana anak belajar pertama kali. Rumah juga yang menjadi benteng bagi setiap anak dari pengaruh buruk lingkungannya.
Sama-sama menjadi tempat belajar, seyogyanya rumah menjadi pendukung pembelajaran sekolah. Selama ini memang telah terjadi demikian, namun hanya terbatas pada pelajaran yang sifatnya akademis. Sering kita dapati orangtua mendampingi anaknya belajar atau mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dan ini hal yang lumrah terjadi. Namun, sayang sekali, banyak orangtua yang belum peduli sampai ke wilayah pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah.
Sering terjadi, pendidikan karakter yang dengan susah payah diajarkan oleh guru di sekolah, akhirnya blas..amblas begitu si anak sampai ke rumah. Contoh kecil misalnya, di sekolah si anak diajarkan untuk berkarakter disiplin dengan cara mencuci tangan setiap sebelum makan. Di rumah, ketika si anak pulang bermain dan langsung mencomot kue di atas meja, orangtua mendiamkan saja. Contoh lain, yang juga sering terjadi, di sekolah anak diajarkan untuk tidak menonton sinetron dewasa, namun di rumah orangtuanya cuek saja meski si kecil ikut duduk dan menyimak.
Ketidakpaduan pendidikan di rumah dengan sekolah seringkali terjadi karena sekolah tidak mengkomunikasikan targetnya kepada orangtua. Sebaliknya, kebanyakan orangtua 'mempercayakan' pendidikan anaknya pada sekolah, sehingga mereka merasa tidak perlu bersusah payah membantu sekolah pada pendidikan-pendidikan moral non akademis. Asal anaknya pulang dengan nilai bagus, maka si orangtua merasa tidak perlu lagi mengevaluasi kelakuan anaknya.
Untuk hal melibatkan orangtua, Indonesia sepertinya harus banyak belajar dari Jepang. Di Jepang, ada hari khusus yaitu hari kunjungan orangtua ke sekolah. Pada hari tersebut, orangtua diundang untuk hadir ke kelas anaknya dan menyimak apa yang diajarkan oleh guru si anak di kelas. Dengan demikian orangtua dapat mengobservasi tidak hanya bagaimana perilaku anak di kelas, tapi bagaimana guru mengajar, terlebih apa yang diajarkan dan dibiasakan di sekolah.
Di sini, orangtua hanya dilibatkan untuk rapat tentang SPP dan sumbangan-sumbangan lain, juga dipesan saat pembagian raport agar prestasi si anak lebih ditingkatkan, tapi jarang sekali diberitahu target-target sekolah untuk pembentukan karakter anak. Mungkin sudah ada sekolah-sekolah yang mulai mengkomunikasikan, tapi hanya segelintir, dan kebanyakan adalah sekolah swasta. Padahal di Indonesia, jumlah sekolah negeri lebih banyak. Padahal lagi, sekolah-sekolah negeri yang lebih banyak melayani anak-anak dari semua kalangan. Dan lagi, anak-anak marginal yang membutuhkan dukungan lebih dalam pembentukan karakternya, kebanyakan bersekolah di sekolah negeri.
Saatnya untuk mulai merubah paradigma. Orangtua sudah saatnya berhenti menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya pada sekolah. Sekolah sudah saatnya untuk menjadikan orangtua mitra dalam pendidikan karakter para siswanya. Jangan hanya melibatkan orangtua ketika si anak bermasalah.
Orangtua sudah saatnya mulai rewel menanyakan pada anak apa yang diajarkan atau dibiasakan di sekolah. Ini bisa dilakukan secara kultural atau sistemik, misalnya dengan minta ditunjukkan target pendidikan karakter oleh sekolah dalam satu tahun ajaran dan bagaimana mekanisme pengajarannya. Jangan merasa takut untuk mengkomunikasikan ini pada sekolah, karena orangtua memiliki hak penuh untuk tahu.
Sekolah sudah saatnya mulai terbuka dengan memberitahukan pada orangtua bagaimana pola pendidikan karakter yang berlaku, juga pembiasaan apa saja yang harus diteruskan orangtua di rumah. Bila perlu, buatkan lembar evaluasi, agar sekolah pun dapat memantau sejauh mana orangtua berperan.
Akhirnya, pendidikan anak-anak Indonesia, adalah tanggungjawab bersama. Tidak akan berhasil cita-cita besar yang ingin diraih bangsa ini melalui pendidikan, jika masing-masing pihak tidak saling mendukung. Rumah, kemudian sekolah, adalah dua tempat dimana setiap anak Indonesia mendapatkan pendidikan dasar mereka. Jika kedua tempat tersebut mampu memberikan pondasi karakter yang kokoh, maka si anak akan memiliki ketahanan pada berbagai rupa lingkungan, dan kekebalan dari berbagai pengaruh buruk yang mengancam. Semoga. Mari padukan rumah dan sekolah, sekarang!
Siska Distiana
Supervisor Marketing dan Komunikasi
Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H