Mohon tunggu...
Siska Destiana
Siska Destiana Mohon Tunggu... lainnya -

Ibu, yang mendamba pendidikan berkualitas untuk seluruh anak dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Stop Jadi Orangtua Egois! (Mari Selamatkan Anak-Anak Indonesia)

23 Juli 2014   19:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:27 2010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Orang tua dan anak | Kompasiana (Kompas.com, shutterstock)"][/caption]

Belajar dari “Taare Zameen Par”

Beberapa waktu lalu, untuk kesekian kalinya, saya nonton “Taare Zameen Par”. Sudah berkali-kali saya tonton film itu, tapi belum bosan juga. Bukan karena ada Aamir Khan, aktor India favorit saya, tapi karena kisah di film itu yang demikian memikat saya.

Taare Zameen Par bercerita tentang seorang anak disleksia yang tidak mendapat pertolongan yang tepat. Di sekolah pertama, si anak dianggap anak bodoh hingga guru dan Kepala Sekolah-nya menyerah. Pindah ke sekolah kedua, jangankan mendapat perawatan yang baik terhadap disleksia-nya, si anak justru depresi karena dipindahkan ke sekolah berasrama yang jauh dari keluarganya. Ditambah lagi pola studi di sekolah kedua yang menuntut setiap anak tampil brilian dan sempurna, membuat si anak tak lagi mempunyai semangat bahkan untuk melakukan hobinya : menggambar.

Keadaan berangsur membaik ketika ada seorang guru baru yang bersedia merepotkan dirinya sendiri untuk mencari tahu permasalahan si anak dan membantunya sembuh dari disleksia. Tidak hanya itu, tapi si guru juga mengembalikan kepercayaan diri si anak dengan mendesain perlombaan gambar yang melibatkan seluruh warga sekolah. Si guru mengetahui bahwa si anak memiliki bakat melukis, sehingga keluarlah si anak menjadi juara dan karya lukisnya dijadikan sampul buku tahunan sekolah. Ah, bahagianya memiliki guru seperti ini. Tapi kali ini saya tidak membahas mengenai guru dan sekolah, jadi mari kembali pada orangtua si anak.

Diceritakan dalam film tersebut, orangtua si anak, terutama ayah, juga adalah sosok orangtua yang perfeksionis. Ia selalu mengharapkan anaknya menjadi juara dan tidak memberikan toleransi pada kegagalan. Dapat ditebak betapa kecewanya ia saat menemui kenyataan anak bungsunya tidak bisa membaca dan menulis dengan benar, sedangkan kakaknya (si sulung) adalah anak dengan prestasi cemerlang. Si bungsu selalu dianggap anak bodoh, bandel dan nakal oleh ayahnya, sehingga si ayah mengasuhnya dengan bentakan, teriakan, makian, bahkan tamparan.

Pertama kali saya nonton film itu, saya masih single kala itu, komentar saya datar saja “Kasihan ya..”. Tapi kemarin, saya nonton kembali film tersebut saat saya sudah menikah dan memiliki seorang putri. Saya jadi tercenung, dalam hati bergumam “Alangkah egoisnya kita orangtua..” L

Egoisnya Orangtua

Sebelum membahas lebih lanjut, meski sudah menjadi istilah umum, tidak ada salahnya kita samakan persepsi dulu mengenai “egois”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, egois berarti orang yang selalu mementingkan diri sendiri. Masih menurut KBBI online, egois juga adalah definisi untuk mereka penganut teori egoisme.

Egoisme sendiri didefinisikan Wikipedia sebagai motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Well, ‘gawat’ juga ya ‘paham’ egoisme ini L

Kembali ke film “Taare Zameen Par” yang sudah saya ulas di atas. Ya, saya katakan orangtua si anak disleksia adalah orangtua yang egois. Kenapa demikian? Ada beberapa pemikiran yang membuat saya menyimpulkan seperti itu :

Ego mencari kepuasan dan kenyamanan diri. Saat mengetahui anaknya bermasalah dengan aktivitas membaca dan menulis sehingga mengakibatkan nilainya selalu jelek, si orangtua langsung menggunakan standar kepuasan dan kenyamanannya, bahwa anak yang baik adalah anak yang berprestasi. Dan orangtua akan puas dan nyaman jika si anak menurut dan berprestasi di sekolahnya. Jika anak tidak memenuhi standar tersebut apa yang terjadi? Orangtua memberikan label anak bodoh dan bebas memarahi anak jika tak juga memenuhi standar orangtua, tanpa pernah bertanya “Nak, sebenarnya apa yang kamu inginkan?”

Ego memecahkan masalah anak. Setelah memutuskan si anak bodoh (karena tidak juga bisa baca tulis dengan benar), si orangtua cepat-cepat mencarikan sekolah baru karena sekolah lama menyerah. Sekolah baru ini terkenal sebagai sekolah favorit yang menghasilkan banyak orang sukses. Sayangnya, orangtua si anak tersebut tidak pernah bertanya “Nak, kenapa kamu belum bisa menulis dengan benar? Ada masalahkah?” atau mencoba mencari tahu dengan berkonsultasi pada ahlinya. Si orangtua langsung mengambil keputusan bahwa untuk anak seperti ini ‘obatnya’ adalah disekolahkan di tempat seperti ini. Akibatnya apa? Depresi

Ego sumber masalah ada pada anak. Pada film tersebut, si orangtua membebankan permasalahan pada diri anak. Orangtua menganggap anaklah sumber permasalahan, tanpa pernah sedikitpun mengevaluasi dirinya. Si orangtua menganggap dirinya selalu benar dan tak sedikitpun punya andil kesalahan penyebab masalah yang menimpa si anak

Saat menulis artikel ini, saya menemukan artikel menarik dari website-nya Sekolah Orangtua (www.sekolahorangtua.com), judulnya “Ada 3 Tipe Orangtua : Anda tipe yang mana?”. Pada artikel tersebut diulas mengenai tiga tipe orangtua, yaitu orangtua pencegah masalah, orangtua pencari solusi, dan orangtua tahu beres. Nah, si orangtua pada film Taare Zameen Par adalah tipe orangtua ketiga.

Menurut Sekolah Orangtua, orangtua tahu beres adalah mereka yang menyerahkan kepada orang lain permasalahan anak mereka untuk diselesaikan, tanpa mereka mau terlibat menyelesaikannya. Orangtua tipe ketiga sering tidak menyadari bahwa permasalahan anaknya bersumber dari pendekatan yang salah yang mereka lakukan sejak anak tersebut menjalani proses tumbuh kembangnya. Orangtua tipe ketiga sering menganggap bahwa anaklah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas masalahnya. Mereka benar-benar susah untuk menerima kenyataan bahwa merekalah pemicu utama dari tindakan anak-anaknya.

Mengapa bisa begitu? Karena pada awal mulanya anak-anak hanya merespon sikap dan tindakan orangtuanya. Ketika orangtua mengulangi sikap dan tindakannya maka si anak juga mengulang respon yang sama. Dan akhirnya karena sering diulang maka hal ini menjadi kebiasaan dan karakter si anak. Demikian jelas Sekolah Orangtua.

Oke, Taare Zameen Par angkat permasalahan anak yang ‘agak’ berat mengenai disleksia yang membutuhkan penanganan khusus. Lalu, bagaimana dengan praktik dalam keseharian kita para orangtua awam yang tidak menemui masalah seperti itu? Egois jugakah kita?

Tulisan ini juga merupakan hasil perenungan saya dalam praktik pengasuhan yang saya lakukan pada putri kecil saya. Selebihnya juga adalah hasil observasi terhadap para orangtua yang saya temui, baik di lingkungan rumah, kantor, maupun di tempat-tempat umum yang hanya selintas bertemu.

Dan, hasil perenungan juga observasi yang saya lakukan adalah, sorry to say, kebanyakan orangtua yang saya jumpai adalah orangtua yang (masih) egois. Tiga parameter ke-egois-an yang saya buat untuk menganalisa orangtua di film Taare Zameen Par di atas dapat kita jadikan parameter juga untuk menganalisa diri kita para orangtua :

1.Ego mencari kepuasan dan kenyamanan diri

Apakah kita masih sering mengatakan hal-hal berikut :

·“Adek, diem dooong, Bunda lagi capek nih!”

·“Kakak, jangan ganggu ah, Ayah lagi jawab whatsapp penting nih!” atau “Kakak, aduuh jangan mainin hp ayah doong, mahal itu, nanti rusak!”

·“Awas, jangan lari-larian, jangan teriak-teriak, berisik!” atau “Awas, pelan-pelan nanti jatuh, rewel lagi nanti!”

2.Ego memecahkan masalah anak

Coba yang ini, pernahkah kita katakan atau lakukan pada anak-anak kita :

·“Udah sini, Mama aja yang nyuapin, tuh kan berantakan makannya!”

·“Kamu lama amat sih pake bajunya, sini Ibu aja yang pakein!”

3.Ego sumber masalah ada pada anak

Kalo yang ini, bagaimana :

·“Bodoh amat sih kamu, diajarin dari kemarin nggak ngerti-ngerti!!”

·“Kenapa ya, anak saya kok ngomongnya suka teriak-teriak? Apa nggak bisa ngomong pelan” (ini curhatan seorang ibu, di rumahnya ia dan keluarga yang lain suka memanggil atau memerintah si anak dengan teriakan)

STOP Egois

Anak adalah anugerah terindah dari Sang Maha Kuasa, maka setiap mereka adalah baik. Jika pada pertumbuhannya atau saat dewasanya si anak berubah menjadi tidak baik, maka yakinlah bahwa kita para orangtua punya andil besar.

Nah, bagaimana caranya agar tidak menjadi orangtua yang egois?

Pertama, tanamkan baik-baik dalam benak kita bahwa setiap anak adalah baik dan terima mereka apa adanya. Selanjutnya, lakukan pola pengasuhan sesuai tuntunan Rasulullah Muhammad saw, yaitu melalui tiga fase :

·Fase 0 – 7 tahun : anak adalah raja. Fase ini mengiringi fase tumbuh kembang otak anak yang sangat pesat. Maka biarkan mereka mengeksplorasi diri dan lingkungannya, namun tetap perhatikan keselamatannya. Sedapat mungkin minimalisir larangan karena hanya akan membuat dia semakin penasaran dan akan mencoba melakukan larangan itu di belakang kita

·Fase 7 – 14 tahun : anak adalah prajurit (ada juga yang mengatakan ‘pembantu’). Fase ini adalah fase pengenalan dan pemberlakukan peraturan, fase pengenalan baik dan buruk, benar dan salah. Peraturan harus ditegakkan, tapi tak perlu menggunakan kekerasan

·Fase 14 – 21 tahun : anak adalah sahabat (ada juga yang mengatakan ‘menteri’). Layaknya sahabat atau menteri, maka ia sudah mulai dilibatkan dalam diskusi keluarga. Juga mulai dapat diajak berbincang dan dimintai pendapat

Last but not the least, kedepankan selalu komunikasi yang humanis penuh cinta kasih (istilah saya: KOMUNIKASIH) di setiap tahapan usianya. Dan, perlakukan anak secara manusiawi, karena ia juga punya hati yang perasa seperti hati kita orang dewasa, ia juga punya pikiran yang berpikir seperti kita orang dewasa.

Akhirnya, Selamat Hari Anak Nasional, mari selamatkan anak-anak Indonesia dengan tidak menjadi orangtua yang egois!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun