Film pengkhianatan G 30 S PKI dirilis pada 1983 kemudian film tersebut mulai sering ditayangkan setiap tanggal 30 September dalam rangka memperingati pengkhianatan yang dilakukan para PKI dan mengenang jasa pahlawan yang telah gugur masa itu.
Film Pemberontakan G30S/PKI diproduksi oleh Produksi Film Nasional (PFN) yang dipimpin oleh Brigjen TNI Gufron Dwipayana, orang dekat Presiden Soeharto. Tokoh penting di balik film ini adalah sejarawan Nugroho Notosusanto. Dwipayana memilih Arifin C. Noer sebagai sutradara film yang awalnya berjudul Sejarah Orde Baru.
Pembuat film menyebut Pengkhianatan G 30 S PKI sebagai "doku drama". Pada adegan penculikan terkesan topik film tersebut sangat sensitif. Narasi film menekankan pada tema-tema bahwa komunis jahat, penuh tipu muslihat, dan korup.
Masalah puncak terjadi di peristiwa Lubang Buaya, adegan yang menampilkan teror komunis semakin meningkat. Di dalamnya terdapat motif sifat manusia yang seperti hewan, tidak memiliki belas kasihan dan bertindak sangat kejam dengan memuaskan hati membunuh para jendral sehingga melukiskan suasana yang berkecamuk.
Agar film nampak menegangkan dan otentik. Adegan penculikan sengaja di ambil dari rumah rumah jendral yang dilakukan di malam hari. Ketika semua warga tengah tertidur lelap dengan suasana yang mencekam.
Sesaat sebelum dibunuh para jendral disuruh atau mungkin dipaksa untuk menandatangani yang namanya Dewan Jenderal. Itu adalah tipu muslihat PKI bahwa Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah nantinya.
Dewan Jenderal sendiri adalah julukan untuk kelompok jenderal yang diisukan hendak melakukan tindakan makar terhadap Presiden Soekarno dan pemerintahan Republik Indonesia.
Sementara suasana bersemangat terjadi saat para komunis tengah mengadakan rapat di Lubang Buaya, mereka begitu liar dan menakutkan, dengan teriakan komunis "Hidup Rakyat, Hidup Naskom, Hidup Bung Karno, Hidup Bung Aidit."
Firasat mengancam terjadi Pada adegan Jendral Parman terdengar teriakan burung di malam hari seolah olah hal tersebut menandakan akan adanya sesuatu yang terjadi. Seperti firasat akan di ambilnya nyawa seseorang malam itu.
Penganiayaan
Film itu memperlihatkan adegan api yang berkobar di Lubang Buaya dengan suasana yang meriah karena para komunis telah berkumpul disana untuk menjadi saksi kematian para jendral. Hal tersebut sangat mencerminkan perilaku senang di atas penderitaan orang lain.
Kekerasan memang sering terjadi di setiap zaman. Penonton film mengalami kembali adegan-adegan di rumah Jenderal Nasution, tempat ajudan Pierre Tendean mengalami salah tangkap; Jenderal Yani, yang ditembak karena melawan perintah panggilan ke istana; Jenderal Sutoyo, yang ditangkap dan diberi waktu untuk ganti pakaian; dan Jenderal Pandjaitan dan Jenderal Hayono, yang ditembak di depan keluarga mereka.
Pada adegan Ade Irma Suryani, yang tertembak dalam penembakan terhadap Nasution dan usaha penculikannya. Menggambarkan betapa tidak ada toleransi sedikitpun terhadap orang yang tidak bersalah. Penghancuran keluarga dalam film ini juga merupakan bagian dari citra yang bertentangan dengan citra Orde Baru yang menekankan pada keutuhan keluarga.
Para jenderal ini dipukul dan dipopor mengunakan ujung senjata. Hasil visum bahkan menunjukkan adanya retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah. Hal itu dikarena para jenderal ditendang dengan keras menggunakan sepatu lars PKI.
Dalam kondisi antara hidup dan mati itu, tubuh para jenderal lantas digeret tanpa berperasaan lalu dibuang ke sebuah sumur di Kawasan Lubang Buaya. Sumur itu memiliki kedalaman sekitar 12 meter dengan lebar 75 sentimeter.
Setelah tubuh para jenderal berada dalam sumur, mereka kembali ditembaki berkali kali. Tujuannya untuk meyakinkan bahwa mereka sudah benar-benar tewas. Kemudian atas sumur itu ditutupi dengan sampah pohon karet untuk sebagai kamuflase bahwa di bawah sumur tersebut tidak ada hal mencurigakan. Apalagi sekumpulan mayat jenderal yang tewas dibantai.
Penumpasan
Adegan Mayor Jendral Soeharto yang digambarkan sebagai tokoh yang sangat jeli melihat situasi. Lalu ia berinisiatif mengambil alih pimpinan angkatan darat. Soeharto juga digambarkan tokoh yang berhati-hati dan memperhatikan detail-detail tindakan yang akan diambilnya. Adegan pada tokoh ini selalu ditampilkan sebagai sosok ideal seorang pemimpin.
Dalam rapat koordinasi penumpasan, Soeharto berceramah kepada para perwira lain, ia mengatakan.
"Apa yang disebut Dewan Jenderal itu tidak ada. Sama sekali tidak benar apa yang dikatakan Untung. Menghadapi situasi ini, kita ingin mencari keadilan. Karena jenderal-jenderal kita telah diculik dan dibunuh. Kita merasa terpanggil sebagai prajuri Sapta Marga, karena yang terancam adalah bangsa dan negara. Saya memutuskan untuk menghadapi mereka. Kalau kita tidak hadapi, kita akan mati konyol. Seorang prajurit Sapta Marga harus memilih mati untuk Negara dan Pancasila, bukan mati konyol. Insyaallah, kita akan berhasil menumpas mereka."
Kata-kata dalam dialog tersebut sangatlah buruk di seluruh adegan film, Arifin C. Noer seharusnya bisa mengolahnya ke dalam bahasa film, namun ia tidak berbuat apa-apa. Arifin cukup lihai memanfaatkan bahasa film pada bagian pertama film ini. Namun, ia kalah oleh sosok Soeharto yang memang tokoh paling sentral sebagai penumpas Gerakan 30 September.
Pada adegan penggalian , sutradara menggunakan suara asli Soeharto yang direkam oleh wartawan RRI pada 3 September 1965. Lagi-lagi elaborasi Arifin sangat terbatas dalam menggunakan footage suara ini dalam gaya bertutur filmis yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H