Kekerasan memang sering terjadi di setiap zaman. Penonton film mengalami kembali adegan-adegan di rumah Jenderal Nasution, tempat ajudan Pierre Tendean mengalami salah tangkap; Jenderal Yani, yang ditembak karena melawan perintah panggilan ke istana; Jenderal Sutoyo, yang ditangkap dan diberi waktu untuk ganti pakaian; dan Jenderal Pandjaitan dan Jenderal Hayono, yang ditembak di depan keluarga mereka.
Pada adegan Ade Irma Suryani, yang tertembak dalam penembakan terhadap Nasution dan usaha penculikannya. Menggambarkan betapa tidak ada toleransi sedikitpun terhadap orang yang tidak bersalah. Penghancuran keluarga dalam film ini juga merupakan bagian dari citra yang bertentangan dengan citra Orde Baru yang menekankan pada keutuhan keluarga.
Para jenderal ini dipukul dan dipopor mengunakan ujung senjata. Hasil visum bahkan menunjukkan adanya retak di tulang kepala, tangan dan kaki patah. Hal itu dikarena para jenderal ditendang dengan keras menggunakan sepatu lars PKI.
Dalam kondisi antara hidup dan mati itu, tubuh para jenderal lantas digeret tanpa berperasaan lalu dibuang ke sebuah sumur di Kawasan Lubang Buaya. Sumur itu memiliki kedalaman sekitar 12 meter dengan lebar 75 sentimeter.
Setelah tubuh para jenderal berada dalam sumur, mereka kembali ditembaki berkali kali. Tujuannya untuk meyakinkan bahwa mereka sudah benar-benar tewas. Kemudian atas sumur itu ditutupi dengan sampah pohon karet untuk sebagai kamuflase bahwa di bawah sumur tersebut tidak ada hal mencurigakan. Apalagi sekumpulan mayat jenderal yang tewas dibantai.
Penumpasan
Adegan Mayor Jendral Soeharto yang digambarkan sebagai tokoh yang sangat jeli melihat situasi. Lalu ia berinisiatif mengambil alih pimpinan angkatan darat. Soeharto juga digambarkan tokoh yang berhati-hati dan memperhatikan detail-detail tindakan yang akan diambilnya. Adegan pada tokoh ini selalu ditampilkan sebagai sosok ideal seorang pemimpin.
Dalam rapat koordinasi penumpasan, Soeharto berceramah kepada para perwira lain, ia mengatakan.
"Apa yang disebut Dewan Jenderal itu tidak ada. Sama sekali tidak benar apa yang dikatakan Untung. Menghadapi situasi ini, kita ingin mencari keadilan. Karena jenderal-jenderal kita telah diculik dan dibunuh. Kita merasa terpanggil sebagai prajuri Sapta Marga, karena yang terancam adalah bangsa dan negara. Saya memutuskan untuk menghadapi mereka. Kalau kita tidak hadapi, kita akan mati konyol. Seorang prajurit Sapta Marga harus memilih mati untuk Negara dan Pancasila, bukan mati konyol. Insyaallah, kita akan berhasil menumpas mereka."
Kata-kata dalam dialog tersebut sangatlah buruk di seluruh adegan film, Arifin C. Noer seharusnya bisa mengolahnya ke dalam bahasa film, namun ia tidak berbuat apa-apa. Arifin cukup lihai memanfaatkan bahasa film pada bagian pertama film ini. Namun, ia kalah oleh sosok Soeharto yang memang tokoh paling sentral sebagai penumpas Gerakan 30 September.
Pada adegan penggalian , sutradara menggunakan suara asli Soeharto yang direkam oleh wartawan RRI pada 3 September 1965. Lagi-lagi elaborasi Arifin sangat terbatas dalam menggunakan footage suara ini dalam gaya bertutur filmis yang baik.