Artikel yang sangat bagus saya kemukakan di sini, saya dapat dari situs Hidayatullah.com. I hope it can be a 'mirror' to us, the people who says muslim or muslimah... No wonder there are many poor muslims converts from Islam to other religions, instead of giving them the jobs, or scholarship, or medical benefit, or daily needs, those rich muslims are spending their money every year only for the Hajj (they had been performed Hajj before), and they would never care about their surroundings... (Saya harap bisa menjadi cermin bagi kita, yang mengaku sebagai muslim/muslimah. Tak heran kalau banyak muslim yang miskin pindah agama ke agama lain karena para muslim yang kaya bukannya memberi mereka pekerjaan, beasiswa, tunjangan kesehatan, atau sembako, tapi menghabiskan uang mereka setiap tahunnya hanya untuk haji (padahal banyak yang sudah melaksanakan haji), dan mereka tak sekalipun peduli dengan lingkungan di sekitarnya (banyaknya busung lapar, kemiskinan, dsb). Haji, Antara Egoisme dan Altruisme Ahad, 16 Oktober 2011
Bangsa Indonesia patut berbangga. Sebab, jumlah jamaah haji Indonesia ternyata terbanyak bila dibanding negara lain. Dari sekitar 43.478 orang yang tiba di Madinah pada 10 Oktober lalu, 32.276 adalah jamaah haji asal Tanah Air (hidayatullah.com. 10/10).
Posisi itu paling tinggi di atas India dan Turki. Dalam hal ini, ada dua hal kenapa harus bangga.Pertama, kesadaran warga Indonesia menunaikan rukun Islam ke lima sangat tinggi. Kedua, jika melihat biaya haji yang tinggi, hal itu indikasi bahwa ekonomi masyarakat, terutama umat Islam relatif menggembirakan.
Seperti dilansir DetikNews.com (23/06), jumlah jamaah haji tahun 2011 mencapai angka sekitar 200 ribu peserta. Peringkat paling atas diwakili Jakarta dengan jumlah 60.197 kemudian disusul Surabaya 40.398 orang. Angka itu belum lagi jika ditambah calon haji (calhaj) yang masih dalam daftar tunggu (waiting list) yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Angka tersebut tentunya akan lebih besar bila digabung. Kenapa hal ini perlu dikalkulasikan? Bila melihat costhaji yang cukup besar, atau sekitar Rp 30 juta, maka kalau Rp 30 juta itu dikalikan 200 ribu, hasilnya akan sangat besar. Triliunan rupiah!
Sekarang, mari kita lihat jumlah penduduk Indonesia tahun 2011. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), pada tahun ini, jumlah penduduk negara ini mencapai sekitar lebih dari 241 juta jiwa. Dan, mari kita coba lihat lagi standar kemiskinan yang dibuat Bank Pembangunan Asia (ADB). Menurut ADB, dikatakan miskin bila berpenghasilan di bawah 1.25 dollar AS per hari atau sekitar Rp 10.625.
Di Indonesia, entah berapa persen masyarakat yang tergolong berpendapatan di bawah 1.25 dollar. Tak terlalu penting sebenarnya data itu. Sebab, bila melihat realitas yang ada, setidaknya data itu telah terjawab. Lihat saja kesejahteraan masyarakat yang masih sangat jauh dari harapan. Begitu pula jumlah pengangguran, pengemis, gelandangan yang masih banyak. Lihat saja ketika bulan puasa tiba. Tontonan mustahik yang berebut zakat dengan begitu mengenaskan hingga merenggut nyawa kerap terjadi. Realitas itu hingga kini bak benang kusut yang sulit diurai.
Bagi masyarakat yang mampu berhaji, tentunya pendapatannya di atas Rp 10 ribu per harinya. Atau setidaknya tidak termasuk kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan mereka per hari bisa berkali lipat.Bisa Rp 100 ribu atau bahkan lebih. Tergantung profesi. Pejabat biasanya bergaji jutaan rupiah per bulan. Begitu juga pebisnis, per bulan bisa meraup puluhan juta rupiah atau bahkan lebih.
Haji sebenarnya memiliki nilai prestise tersendiri bagi masyarakat. Tidak saja secara transendtal –memenuhi perintah Allah--, tapi juga secara sosial-kultural. Orang yang telah berhaji biasanya dianggap alim atau shaleh. Karena itu, biasanya, orang yang telah berhaji mendapat julukan baru:al haj atau haji/hajah yang diikuti perubahan lahiriyah. Seperti dari gaya berpakaian yang lebih Islami.
Karena itu, tak begitu heran bila masyarakat berlomba-lomba menunaikan ibadah yang menelan dana puluhan juta rupiah itu. Hal itu akan lebih berbeda lagi bagi para “pejabat”. Tak sedikit di antara mereka yang melakukan haji lebih dari satu kali. Itu belum lagi kalau dihitung umrah. Bisa jadi, hampir setiap tahun berangkat umrah. Pasalnya, konon, umroh dan haji dianggap cara moncer untuk membangun brand image citra politik maupun sosial di masyarakat. Apalagi, bila sedang dililit kasus. Pergi ke tanah suci, biasanya menjadi solusi.
Adanya orang naik haji lebih dari sekali bisa menjadi ritus paradoks dalam konteks kemasyarakatan. Apalagi bila selama ini tidak memberikan sumbangsih apapun. Namun, lebih mengutamakan hajinya daripada berbagi (altruisme atau itsar) kepada sesama. Padahal, altruisme juga penting daripada egoisme dalam beribadah. Karena itu, pertanyaannya: apa gunanya haji tapi apatis? Apa gunanya haji tapi asosial? Padahal, indikasi kesuksesan haji, salah satunya diukur dari keshalehan sosial.
Coba bayangkan bila angka 200 ribu orang haji itu memiliki sifat altruistik yang tinggi. Satu orang, misalnya, bisa mengentaskan satu atau bahkan dua orang yang hidup dalam kemiskinan. Niscaya, 200 ribu orang dapat terbantu. Apalagi kalau itu terjadi pada tiap tahunnya. Tidak terlalu sulit. Untuk keluar dari garis kemiskinan caranya mereka disuntik agar pendapatan mereka melebihi angka Rp 10 ribu per hari. Tidak terlalu banyak.
Seorang muslim yang berhaji tentunya memiliki spirit altruisme yang besar. Spirit itu setidaknya akan didapat ketika melakukan serangkaian ibadah haji: thawaf, ihram, wukuf, sa’i, dan ketika tawaf mengitari kabah. Ada tanggung jawab sosial di situ: di mana muslim hidup tidak hanya mengendepankan egoisme personal, tapi juga punya tanggung jawab sosial, seperti satu tubuh.
Ada cerita menarik tentang ini. Suatu waktu, ada ahli sufi, Ibrahim bin Ahmad, bemimpi, ada dua malaikat turun ke bumi dan berbincang. “Tahun ini ada berapa jamaah yang hajinya diterima oleh Allah?” tanya salah satu malaikat kepada malaikat yang lain. Malaikat yang lain menjawab,” Dari sekian ribu jamaah, tak satupun yang diterima kecuali seseorang dari Damaskus bernama Muwaffaq.”
Setelah terbangun, Ibrahim berniat mencari kebenaran mimpinya. Ia pun bergegas menuju Damaskus mencari orang yang dimaksud. Setelah bertemu Muwaffaq, Ibrahim menanyakan itu. Muwaffaq menjawab pertanyaan itu, “Sudah lama aku ingin berhaji, tetapi selalu kesulitan dana.
Suatu saat aku mendapat untung besar dan aku pun berencana naik haji. Tetapi, saat hendak berangkat, aku mendapati anak-anak yatim di sekitar rumahku kelaparan hingga harus memakan bangkai keledai selama tiga hari. Akhirnya aku batalkan rencana pergi haji dan kuberikan ongkos hajiku itu untuk menolong mereka.”
Jadi, apabila gelar Al-hajj telah disandang, tapi altruisme tidak terpatri di dalam dirinya, atau bahkan egoisme makin bertambah, perlu dipertanyakan kemabrurannya: kira-kira diterima atau tidak ibadahnya? Jadi, di mana hati orang yang berhaji hingga dua kali tapi belum berbuat apa-apa bagi orang tidak mampu di sekelilingnya? Jika demikian, tanyalah pada onta di padang pasir!
Syaiful Anshor
Alumnus STAI Lukman Al Hakim, Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H