Sang suami meninju sandaran sofa. Dia mengambil kotak rokoknya. "Sungguh tak berguna. Bahkan di saat seperti ini dia tak mau menolong. Apa dia segitu takutnya pada istri?"
"Bukan begitu. Aku belum bisa ngomong sekarang. Dia keburu mau tidur."
"Alah, alasan!" Suaminya mendengus lagi kemudian dengan langkah gusar pergi ke pintu utama.
"Mau ke mana?"
"Mikir!"
Pintu dibanding keras dan ruang segera sepi. Banyak yang sebenarnya ingin dia katakan pada sang suami, tetapi segalanya tercekat di paru-paru.
Setelah terdiam beberapa saat, dia kembali ke jendela dan menepikan tirai seolah-olah pagi telah datang. Bukit yang dia lihat legam dalam malam. Tak ada kunang-kunang. Dia bergidik.
Kunang-kunang mengerikan. Sejak kecil dia selalu takut pada kelap-kelipnya. Entah mengapa, dia merasa diawasi serangga itu. Kalau kakaknya sedang asyik mengejar mereka, dia pura-pura menikmatinya. Rahasia itu masih aman hingga hari ini.
Sekelebat ide lewat. Bagaimana jika dia menukar rahasia ini dengan uang? Dia butuh uang. Suaminya butuh uang. Utang-utang harus dibayar. Meski sebagian berhasil ditunda, tak berarti mereka bebas. Ide itu kembali mengganggu pikirannya. Layakkah rahasianya ditukar uang?
Beberapa meter dari apartemen, sang suami berhenti sejenak, menghela napas. Dia tahu seharusnya tak membentak. Namun, kata-kata itu meluncur lancar begitu saja.
Angin malam singgah di tengkuknya dan entah mengapa dia merasa kedinginan. Kakinya bergerak lagi, melangkah ke kedai kopi di seberang jalan. Tak didengarnya bunyi klakson.
4. TITIPAN
Orang itu menyeberang ke kedai kopi di seberang jalan. Tak didengarnya bunyi klakson. Terlambat sedikit, dia mungkin jadi mayat. Untunglah pengendara mobil sigap membanting setir dan menghindar.
Pengemudinya seorang perempuan paruh baya yang kusut penampilannya. Dia jelas keluar bukan untuk bersenang-senang. Beberapa meter dari situ dia mengerem mobil dan melihat melalui spion dalam, orang yang nyaris ditabraknya mengepalkan tangan dan memaki.
Tak ada waktu. Dia tancap gas lagi.