Erna diam beberapa saat. Dia dan Vita saling pandang. "Karena kalau kamu tahu, kamu tidak akan suka. Hanya aku yang mengerti."
"Coba saja."
"Jodi buta warna," katanya dingin. "Puas?"
Jodi buta warna dan Vita tidak pernah menyadarinya. Kini dia paham mengapa Jodi selalu menggambar dengan pensil atau pulpen. Dia kini mengerti mengapa Jodi tidak pernah mau mewarnai sketsanya. Sekarang dia paham mengapa Jodi tampak dingin. Mungkin dia tidak nyaman.
Namun, Vita ingin mendengar langsung dari Jodi. Pertemuan mereka di bawah pohon bugenvil yang sering digambar Jodi, berakhir dengan buruk. Jodi merasa malu dan kesal pada Erna karena tahu rahasianya. Dia juga benci pada Vita yang berani mengungkit masalah itu. Saat itu juga dia memutuskan pertemanannya dengan Vita.Â
Jodi yang sendiri, makin sendirian. Orang tuanya bekerja sampai malam. Sejak kecil Jodi dititip ke sana kemari. Baru setelah dia berusia 15 tahun dia tinggal di rumah sendiri.
Kesepian itu terus membesar ketika di hari ulang tahunnya yang ke-18, orang tuanya tetap pulang terlambat. Dia berteriak marah, "Jodi ini sebenarnya anak siapa, sih? Apa gunanya Jodi tinggal di sini?"
Sulit menenangkannya dalam waktu singkat. Setelah obrolan yang sulit, orang tuanya memberi sebuah bingkisan. "Kami tidak lupa," kata ayahnya.Â
Jodi membuka hadiah itu. Kacamata. Untuk apa? Dia tidak merasa rabun.
"Coba kamu pakai, Jod," kata ibunya.
Setengah mengernyit, Jodi memakainya. Dia memaki dalam hati sampai kepalanya tengadah.