Aku sudah lupa isinya. Hanya ingat, itu surat cinta pertama yang kubuat. Tulisanku sungguh buruk. Bahkan, apoteker pun tidak akan sanggup membacanya.
Surat itu kutulis untuk seseorang yang sangat ... ceria. Tidak seperti aku yang mudah gagu. Sering aku malu karena seperti tersedak dengan informasi yang nyangkut di kerongkongan. Akhirnya aku sering diam, membiarkan orang lain yang nyerocos atau aku pergi begitu saja jika sudah tak tertahankan. Namun, dia tak pernah menyela. Dia selalu menunggu. Penantian itu malah membuatku semakin gugup karena tiap kali mata kami beradu, aku tak sanggup menatapnya lama. Mungkin dari situ awal aku menyukainya.
Kalau dipikir, dia tampak biasa saja. Dandanannya biasa. Kebalikan dari aku yang cungkring, dia sedikit ... lebar. Anehnya, itu tak pernah menggangguku. Dia selalu gesit berlarian, tertawa lepas, dan bergosip dengan murid lain. Mungkin itu yang membuatnya tampak menyenangkan dan hidup di mataku. Dia angin segar.
Aku ingat surat itu kutulis cakar ayam. Tangan dan pikiranku tak sinkron. Setelah jadi, aku terdiam panjang. Mungkin lebih dari lima menit. Ketika kesadaran menyergap, aku melipat-lipat surat itu.
Jendela kamar kubuka. Sayup-sayup bising kota termakan angin. Dari lantai 18 apartemenku, mobil dan perumahan di sekitarku tampak hanya seperti Monopoli. Angin bertiup kencang.
Kuambil surat cinta itu. Setelah itu aku kembali ke jendela, menarik napas dalam. Kulesatkan surat itu menembus angis. Bentuknya yang seperti pesawat oleng meliuk-liuk, terus menjauh dari jendela. Kulihat ia melewati jalan raya dan sebuah atap. Setelah itu hilang.
"Aku mencintaimu." Gumaman itu tiada arti karena aku tahu surat itu bukan terbuang.
Dia tak pernah tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H