Ia duduk di belakang. Di sampingnya, duduk seorang gadis muda yang termenung menatap ke luar jendela. Belum sepatah kata pun keluar dari gadis itu, atau dirinya, atau suaminya. Semua bisu sejak meninggalkan rumah sakit, seolah-olah sihir mengambil alih.
Seolah-olah dunia sedang berhenti.
Padahal, hanya mereka yang merasakan waktu menjadi lambat dan dunia jadi berbeda. Bagi mereka, mobil bergerak begitu pelan, beringsut. Rasanya seperti tersaruk-saruk di tengah kemacetan. Pada hari-hari biasa, salah satu dari ketiga manusia itu pasti sudah mengomel. Namun, kebisuan masih mengisi ruang, hanya diselingi musik dari radio yang tak didengar oleh satu pun dari mereka.
Perempuan itu merasa isi otaknya entah ada di mana. Rasanya ada ruang kosong di dalam kepala, sementara hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ia ingin segera tiba di rumah. Ia ingin lekas tiba. Anak gadisnya belum berpaling dari jendela. Tatapannya entah ke mana. Mungkin menahan rasa sakit. Mungkin takut diajak bicara. Sementara, suaminya yang belum bersuara sejak menerima kabar buruk itu, seperti robot, tidak mau berpaling dari kemudi.
Waktu yang melambat itu akhirnya berhenti ketika mesin mobil mati di garasi. Belum ada kata-kata, hanya gemerincing kunci yang diambil si suami dari dompetnya. Kunci rumah. Seperti antrian obat, kedua perempuan di balik punggungnya berbaris sejajar, dengan si anak yang paling belakang. Si suami hanya ingin segera masuk. Mungkin membuat kopi untuk menjernihkan pikirannya. Mungkin lebih baik besok saja dibicarakan. Pikirannya makin jauh membuat rencana-rencana. Seperti strategi marketing, ia ingin memastikan semuanya akan lancar besok. Selintas, ia mendengar bunyi pintu ditutup dan dikunci. Ia tahu, semua sudah di dalam rumah, meski tak ingat tadi ia yang membukakan pintu. Pikirannya mendadak menjadi lelah. Ia ingin segera tidur saja. Namun, belum lagi ia merencanakan bagaimana ia mau tidur, kepalanya cepat menoleh ketika mendengar gaduh.
Istrinya sedang menjerit-jerit liar sambil menjambak anaknya. Anaknya sedang mencicit keras sambil mencakari lengan ibunya, berupaya lepas. Ia terpana pada pemandangan itu. Semua omong kosong drama murahan di televisi tengah terjadi tepat di hadapannya. Ia bisa mencium amuk yang lepas bersama keringat. Namun, ia juga mendengar pilu dalam jeritan istrinya. Jeritan itu terasa seperti suaranya sendiri. Hanya saja ia tetap diam, membiarkan adegan kekerasan itu berlanjut karena bagaimana pun, ia tidak akan bisa menghentikannya. Tidak seorang pun bisa menghentikan luka hatinya atau istrinya.
Di sela-sela jari, rambut-rambut putus terasa menyayat kulit. Si ibu tidak merasakan perih cakaran yang mulai membetuk garis-garis merah di lengannya yang putih. Ia hanya merasakan sakit dari rambut-rambut itu. Ia terus menjerit sambil menarik sekuat tenaga. Ia benci pada rambut yang melawan. Ia ingin membunuh rambut sialan itu, segumpalan rambut kelam yang menancap kuat di kepala anaknya.
Seperti janin itu.
Si anak, seperti buduk diterkam singa, masih meronta. Ia merasakan hawa pembunuh dan yang diinginkannya saat ini hanya menyelamatkan dirinya. Dirinya saja. Peduli setan pada yang lain. Peduli setan pada perkataan dokter. Peduli setan pada tes kehamilan. Peduli setan.
Peduli setan. Peduli setan.
Namun, ia peduli. Ia tahu ia harus peduli karena segala yang terjadi pada hari ini seharusnya bukan kejutan. Ia tahu dan ia memutuskan terus berbuat. Janin itu ada karena dia tidak menolak, meski ia tidak menginginkannya.
Ia masih meronta selama beberapa waktu. Tatapannya terguncang-guncang. Lantai marmer kotak-kotak tampak seperti menari, dihempas ke sana-sini. Kepalanya terasa panas dan semakin ia berontak, semakin panas rasanya. Marmer yang menari membuatnya pusing. Cengkeramannya melemah dan lepas. Akhirnya, ia biarkan saja ibunya terus menjambak. Ia lelah dan tahu telah kalah.
+++
Tidak ada yang terjadi semalam. Semua itu hanya mimpi. Seharusnya.
Tak seorang pun juga mengungkit apa yang terjadi semalam. Setelah puas menjambak putrinya, sang ibu pergi ke kamar, membersihkan wajahnya dari riasan, mencuci muka, menyikat gigi, lalu tidur. Suaminya bahkan sudah lebih dulu pulas. Ia tahu dari napas berat yang selama dua puluh empat tahun mengiringi tidur malamnya.
Setelah rasa sakitnya hilang, sang putri pergi ke kamarnya, terhuyung-huyung. Ia langsung tergeletak di kasur dan berusaha bernapas sebisanya, sebisa-bisanya ia mengambil napas. Saat itu ia menyadari sebuah napas begitu mahal harganya.
Tidak ada yang mengungkit kejadian semalam. Sang ayah duduk seperti biasanya, membaca koran sambil minum kopi. Lima belas menit kemudian, ia pergi kerja. Sebelum berangkat, ia bertanya pada anaknya apakah si anak kuliah hari ini. Si anak hanya menggeleng. Sekilas, ia menatap anaknya kemudian setengah bergumam berkata, "Papa berangkat."
Tidak ada yang terjadi pagi ini. Setelah sang ayah pergi, si anak duduk merenung di meja makan. Sang ibu masih sibuk dengan sarapannya. Tidak ada kata-kata. Tidak ada pertanyaan. Kebisuan berlangsung beberapa menit sebelum si anak meninggalkan meja.
"Beritahu dia," sela si ibu, "kita akan melakukan pertemuan."
+++++
#SocraticQuestioning
 I'm back.  Saya cuma punya satu pertanyaan:
Menurut Anda, apakah bab ini terlalu canggih untuk pembaca dari kalangan ibu-ibu (yang gak mau mikir ruwet)?
Saya lagi belajar nulis cerita yang lebih klise dan semoga lebih 'komersial'. Untuk itulah saya pilih tema paling biasa (di luar soal pelakoran): soal married by accident. Namun, karena tidak bisa menghilangkan kebiasaan bereksperimen, saya perlu bertanya apakah tulisan saya cukup kena untuk demografi ibu-ibu eskapis.
Cerita ini memang msh dalam proses penulisan. Yang saya pasang di sini draf pertama. Jadi, kesempatan besar bagi yg bermata tajam, setajam silet, untuk membantai tulisan saya.
Terima kasih untuk yang sudah membaca.
+++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H