Mereka sibuk berdiskusi. Tiga hari berlalu. Kapal angkasa itu masih parkir di sana.
Aku iseng pergi ke tebing. Dari sini tampilannya lebih jelas. Ia melayang, diam di tempat seperti batu. Kurenung-renungkan lagi. Bagaimana caranya ke sana? Jatuh ke langit. Bagaimana caranya? Tak ada tangga atau apa pun. Kucoba meraih sebuah puing dengan jangkar. Gagal. Beberapa cara kucoba dan gagal juga.
Dua hari berlalu. Aku masih penasaran. Kapal angkasa tampak bergerak, sedikit. Nyaris kasat mata. Aku mulai panik. Kucoba lagi ini dan itu. Semua hasilnya nol.
Aku habis akal. Kutatap langit. Aku kemudian menjauh dari tebing. Kuambil ancang-ancang lalu berlari secepat-cepatnya menembus batas tebing. Rasanya aku ditarik oleh bumi lalu lepas, jatuh ke langit.
Kini aku paham. Ketika kepalaku tengadah, itulah momen jatuh ke langit. Di sana, palka kapal terbuka. Aku tak tahan untuk tidak menyeringai.
***
(Saat ngantuk menulis, kata bebas dari makna, dan imajinasi jadi liar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H