Di langit berserak puing pesawat, satelit, dan meteor. Mereka berarak pelan, serempak dengan awan. Matahari merah menyembul, memberi kilau ekstra, bias tambahan saat memantul dari lempengan-lempengan metal itu. Cantik, tetapi kadang membuat tanah terlalu hangat.
Begitulah dunia sekarang. Kau bisa saja duduk di rerumputan, menatap langit, melihat pertunjukan aneh itu. Namun, keanehan ini sudah lama jadi wajar (Boleh kutulis 'mewajar'?). Sudah lama, bahkan tak ada yang ingat kapan.
Siapa pun yang tinggal di sini tinggal buangan. Jumlahnya terus menyusut. Mati lapar atau penyakit memapar. Jadi kami menghibur diri: suatu hari kaum yang lupa akan menjemput kami. Harapan palsu. Dongeng palsu. Entah berapa generasi berlalu, tak ada satu pun dari kaum itu menjenguk. Penjara luas ini telah terlupakan. Mungkin buat mereka, Bumi tinggal nama.
"Kau harus yakin jika ingin ke sana," kata Tetua sewaktu aku kecil.
"Caranya?" Aku penasaran saat itu.
"Kau harus bisa jatuh ke langit."
"Jatuh ke langit? Maksud Tua, jatuh dari langit?"
Tetua menggeleng. "Jatuh ke langit."
Ia sudah tiada bertahun-tahun. Sejak percakapan itu, aku tak pernah bertanya lebih lanjut. Orang-orang tua sering gila pikirannya. Mungkin karena mereka terlalu berharap sewaktu muda. Tidak seperti aku yang pesimis.
Sekarang aku teringat kata-kata aneh itu saat melihat kapal angkasa di balik puing langit. Apakah mereka datang menjemput atau sekadar tur? Tak tahulah. Orang di sekitarku heboh, tetapi aku tidak melihat keuntungan apa pun dari kapal itu. Mungkin. Ya, sebenarnya kapal itu sedikit memberi manfaat. Bayangan gelap meneduhkan permukaan. Panas turun lima derajat.
"Kita harus naik ke sana." Orang-orang sibuk bergunjing. "Sayang terhalang puing-puing."