Ia duduk di sana, matanya tajam menatap ke arah jendela besar yang gelap. Ia tidak gelisah dan jelas sedang menunggu.
Rambutnya cokelat terang, kontras dengan baju ungu yang dikenakannya. Tampilannya kasual, kelihatan seperti ibu rumah tangga biasa.
Ia menunggu lebih dari satu jam, akhirnya tampak bosan. Sesekali berjalan hilir mudik, tetapi selalu berakhir dengan menatap jendela itu, jendela satu-satunya yang tak jelas menghadap ke mana.
Meskipun gelap, ia bisa melihat bayangannya. Dengan pelan ia merapikan rambut lalu setelah diam beberapa saat  kembali ke kursinya.
Ruangan itu memang terbilang kosong, juga kecil. Hanya ada sebuah meja dan dua kursi berseberangan.
Seketika ketenangan itu diganggu oleh pintu yang terbuka. Seorang pria perlente masuk, nenutup pintu, dan duduk di hadapannya. Setelah beberapa pertanyaan pemanasan, pertanyaan penting pun meluncur dari si pria. "Mengapa Anda membunuhnya?"
**
Wajahnya memang tak pernah lebam, tetapi hatinya sering tertusuk-tusuk. Kata-kata si suami tidak pernah meluncur keras, tetapi isinya seperti godam.
Masakanmu seperti sampah. Tubuhmu makin jelek. Rambutmu kayak jerami. Ngepel kok malah jadi bau lantainya. Bajuku makin kusut kausetrika. Kopiku rasa obat. Ngurus itu saja tak becus. Ngurus ini tak bisa. Istri tak berguna.
Kali lain ia seperti menantang.
Apa? Kau marah? Gitu saja marah! Kenyataan, kok.
Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Kau mau membunuhku, ya? Kau pikir kau bisa? Motong buncis saja tak becus, banyak tingkah.
Apa? Kau mau memukulku? Sini! Coba pukul! Ayo, sini! Kan? Ngomong doang. Olahraga saja tak pernah, sok kuat.
Lain waktu ia membandingkan.
Coba kamu seperti istri si Jef. Cantik, keren, bisa ngurus rumah. Aku benar-benar salah cari istri deh, kayaknya. Apa aku perlu kawin lagi? Atau sewa pembantu? Kamu yang bayar, ya? Eh, tapi kamu tak punya duit, ya? Hahaha, ya iya lah. Kerja di rumah saja tak bisa, mana pantas kerja kantoran.
Tak perlu buru-buru menganggapnya psikopat. Psikopat tidak seperti ini. Kau tahu pria seperti ini pria apa? Perundung. Mental perundung. Padahal dulu ia tidak seperti itu. Mungkin, ia pandai menutupinya.
Memang tubuhnya tak pernah tersakiti. Namun, seperti kertas remuk, perasaannya yang sudah tergores tak akan pernah hilang bekas. Dari goresan kecil-kecil itulah monsternya terbentuk. Satu-satu saling mengait, membentuk ikatan yang kuat. Ia tak lagi memikirkan rasa sakitnya, tetapi bagaimana membalasnya.
**
Wajahnya tetap tenang. Sesekali tatapannya beralih ke jendela, seolah-olah ada yang tersangkut di sana.
Mungkin monster-monster itu menunggu di sana.
Di sela jawabannya, tiba-tiba ia tercenung. Ingatannya melompat ke masa kecil ketika ia benci dengan keributan orang tua di rumah dan mencari kesenangan di sekolah. Namun, tak ada yang menyenangkan. Ia merasa lemah, tak berdaya untuk melerai pertikaian yang semakin sering. Ia benci anak-anak lain yang bahagia. Tak adil.
Saat menemukan anak-anak yang lemah ia semakin benci. Ia benci setengah mati. Pelan-pelan ia mulai menyakiti mereka dengan kata-kata. Semakin lama, semakin kuat ia merasa.
Kata-kata itu sihir yang nyata.
Namun, kejadian itu sudah lama sekali. Mengapa bisa lupa? Ia tak tahu. Mungkin pada akhirnya ia merasa perbuatan itu tak benar. Mungkin juga ia menganggap tak perlu lagi diingat. Toh, sudah begitu lama.
Ditatapnya jendela lekat-lekat. Ia tidak menemukan monster di sana. Yang ia lihat bayangan dirinya sendiri. Perundung yang bangkit dari mati suri.
"Bu?"
Suara si pria perlente membuyarkan pikirannya. Ia memberi senyum samar. Perasaannya lega setelah memahami siapa dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H