Kehadiran restoran Hokben di Bukittinggi awal Desember tahun lalu sebenarnya sudah cukup bikin saya jejingkrakan kegirangan. Setelah sepuluh tahun tinggal di kota ini, akhirnya lidah saya bisa juga terbebas dari kepungan santan dan sambal yang menjadi ciri khas masakan-masakan Sumatera Barat.
Menu-menu di Hokben memang bikin ngiler. Dan salah satu menu yang paling saya tunggu untuk me-recovery lidah saya ini adalah sukiyaki. Satu porsi sukiyaki itu isinya ada tahu putih, shirataki (soun), irisan daging sapi, serta sawi putih, bawang bombay, dan daun bawang. Sepertinya, isinya ini komplit gizi. Karbohidratnya ada, sayurnya ada, proteinnya apalagi sampai 2 jenis gitu; hewani (daging sapi) dan nabati (tahu).
Bahan-bahan itu biasanya dipotong dalam ukuran besar. Tahu putihnya dipotong seperti balok, bawang bombaynya diiris tebal dan bulat seperti roda sepeda, daun bawangnya juga tidak mau kalah; diiris serong seukuran setengah jari. Isian itu, kemudian disempurnakan dengan kuah khas yang manis gurih. Dari pertama kali mencoba, rasa sukiyaki Hokben membuat saya yang doyan jajan ini jadi susah move on. Lihat plang Hokben, kebayangnya ya sukiyaki.
Bagi saya, sukiyaki menjadi menu yang paling pantas disematkan medali juara satu di Hokben. Kalau sudah makan sukiyaki, sepertinya chicken katsu, beef yakiniku, atau tori no teba langsung merosot ke juara harapan semua. Enaknya sinting banget!
Tapi apa daya, sejak restoran ini buka saya belum bisa menikmati menu ciamik ini. Di bulan pertama, mbak di belakang kasir itu bilang kalau menu sukiyaki belum ready, menunggu kiriman bahan baku dari Jakarta. Bulan berikutnya saya tanya lagi, sabdanya masih sama, "Belum ready, kakak."
Tidak putus asa, beberapa waktu lalu saya tanyakan lagi ke si mbak kasir. Dan ternyata, jawabannya juga masih idem. Saat itu saya kecewa berat. Dan sambil mengubur dalam-dalam keinginan menikmati sukiyaki di Bukittinggi, saya pun bertanya, "Mengapa oh mengapaaa...?"
Kalau memang tidak ready-ready, kenapa menu ini terpampang diantara pilihan menu lainnya di belakang kasir berbulan-bulan? Saya mengasumsikan bahwa itu menjadi salah satu menu yang ditawarkan, dan pengunjung diperbolehkan untuk memilih menu tersebut.
Ini Hokben lho, bukan warung samping rumah saya yang menulis di banner-nya ada nasi sup, nasi goreng, lontong sayur, mie goreng, mie rebus dan lain-lain, namun dari dulu sampai sekarang yang tersedia hanya lontong sayur dan nasi goreng tok. Tolonglah kami konsumen pencinta sukiyaki jangan di-php-in begitu.
Selain itu, porsi gambar sang Sukiyaki di belakang kasir itu juga paling besar diantara menu-menu sejenis seperti chicken tofu, miso soup, shrimp dumpling, atau teman-temannya seperkuahan lainnya. Sebagai konsumen saya berpikir bahwa menu dengan gambar yang besar bukankah biasanya menjadi salah satu menu yang direkomendasikan? Entah karena menu baru, lagi promo, atau biasanya menu andalan.
Bagi saya, sukiyaki ini sudah jadi menu khas-nya Hokben. Kenapa tidak ada? Bukankah kalau restoran baru buka justru sejatinya menghadirkan menu-menu khasnya? Kenapa menu ini tidak ikut diperkenalkan ke warga kota Bukittinggi?
Saya sempat menduga ketiadaan menu ini erat kaitannya dengan harga. Seporsi sukiyaki dibandrol dengan harga 60 ribu nett. Lalu, apakah harga ini dirasa kemahalan untuk daya beli warga kota?
Tapi, beberapa menu paketan Hokben yang lain pun menurut saya hampir sama juga harganya; di seputaran 50 ribu. Beberapa menu bento spesial malah di atas 60 ribu nett-nya. Jadi saya berkesimpulan kalau sukiyaki masih dijual lebih murah dari paket bento spesial, seharusnya bisa laku ya?
Selain pertimbangan harga, saya juga menduga bahwa rasa yang cenderung manis mungkin juga jadi pertimbangan mereka untuk tidak menyediakan menu ini. Beberapa kerabat dan teman saya di kota ini pernah mengungkapkan kekurangsukaannya pada gudeg, masakan khas Jawa yang rasanya manis. Menurut mereka, masakan (lebih spesifik untuk dimakan dengan nasi) kok manis?
Bukan berarti di kota ini tidak ada santapan yang manis lho. Sejauh yang saya tahu, rata-rata penganan manis di sini lebih banyak dalam bentuk kue, atau minuman. Misalnya kue lapek bugih (tepung ketan berisi parutan kelapa dan gula) atau galamai (seperti dodol di daerah lain), dan juga beberapa minuman khasnya seperti teh telur atau es tebak (semacam es campur) yang kadang manisnya 'kebangetan' bagi saya.
Tapi memang, saya belum menemukan makanan pendamping nasi (lauk atau sayur) di sini yang terasa manis. Selain kue, biasanya ya berupa minuman itu tadi. Tapi ya, menurut saya warga kota ini sebenarnya tidak anti juga untuk mencoba sesuatu yang baru. Apalagi sekelas sukiyaki, yang walaupun untuk bisa menikmati menu ini biasanya harus menunggu 15 sampai 20 menit. Tapi gpp, worth it kok.
Tulisan ini dibuat menjelang 5 bulan usia sang resto di kota ini. Mudah-mudahan kunjungan ke Hokben berikutnya saya nggak perlu ngiler-ngiler lagi melihat foto semangkuk sukiyaki di depan mata, tapi eh, masih nggak bisa dipesan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H