Saya sempat menduga ketiadaan menu ini erat kaitannya dengan harga. Seporsi sukiyaki dibandrol dengan harga 60 ribu nett. Lalu, apakah harga ini dirasa kemahalan untuk daya beli warga kota?
Tapi, beberapa menu paketan Hokben yang lain pun menurut saya hampir sama juga harganya; di seputaran 50 ribu. Beberapa menu bento spesial malah di atas 60 ribu nett-nya. Jadi saya berkesimpulan kalau sukiyaki masih dijual lebih murah dari paket bento spesial, seharusnya bisa laku ya?
Selain pertimbangan harga, saya juga menduga bahwa rasa yang cenderung manis mungkin juga jadi pertimbangan mereka untuk tidak menyediakan menu ini. Beberapa kerabat dan teman saya di kota ini pernah mengungkapkan kekurangsukaannya pada gudeg, masakan khas Jawa yang rasanya manis. Menurut mereka, masakan (lebih spesifik untuk dimakan dengan nasi) kok manis?
Bukan berarti di kota ini tidak ada santapan yang manis lho. Sejauh yang saya tahu, rata-rata penganan manis di sini lebih banyak dalam bentuk kue, atau minuman. Misalnya kue lapek bugih (tepung ketan berisi parutan kelapa dan gula) atau galamai (seperti dodol di daerah lain), dan juga beberapa minuman khasnya seperti teh telur atau es tebak (semacam es campur) yang kadang manisnya 'kebangetan' bagi saya.
Tapi memang, saya belum menemukan makanan pendamping nasi (lauk atau sayur) di sini yang terasa manis. Selain kue, biasanya ya berupa minuman itu tadi. Tapi ya, menurut saya warga kota ini sebenarnya tidak anti juga untuk mencoba sesuatu yang baru. Apalagi sekelas sukiyaki, yang walaupun untuk bisa menikmati menu ini biasanya harus menunggu 15 sampai 20 menit. Tapi gpp, worth it kok.
Tulisan ini dibuat menjelang 5 bulan usia sang resto di kota ini. Mudah-mudahan kunjungan ke Hokben berikutnya saya nggak perlu ngiler-ngiler lagi melihat foto semangkuk sukiyaki di depan mata, tapi eh, masih nggak bisa dipesan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H