Pagelaran stand-up comedy berjudul SUCI X ditayangkan Kompas TV tahun ini begitu menarik perhatian saya. Bukan saja karena acara ini mampu bertahan sampai sepuluh musim, sesuatu yang cukup jarang terjadi bagi sebuah program televisi ditengah perubahan selera menonton masyarakat, namun juga karena para kontestannya yang menurut saya lebih beragam dibanding musim-musim sebelumnya.
Bagi saya, kontestan menjadi daya tarik utama ketika saya menonton sebuah acara kompetisi. Kemasan, konsep, juri, atau host, menjadi tetek bengek selanjutnya yang saya pertimbangkan untuk menonton acara tersebut. Tapi untuk sebuah acara kompetisi, kontestan lah yang menjadi "jantung"nya acara. Dan di SUCI X ini, saya melihat paling tidak ada tiga "ragam" kontestan yang memberikan warna berbeda.
Pertama, kehadiran kontestan yang perform berbahasa Inggris. Nggak cuma satu, tapi dua, dan masih bertahan sampai tulisan ini dibuat. Kedua, kontestan disabilitas bernama Budi yang terus dan terus saja saya tunggu penampilannya setiap minggu karena kepiawaiannya mengolah materi disabilitas membuat kita sebagai pemirsa tidak merasa jengah. Lalu yang ketiga adalah Gautama, kontestan yang punya ciri khas bermain tebak-tebakan. Ketiga "jenis" kontestan tersebut menurut saya sukses menjadi daya tarik acara ini, sehingga di luar itu bagi saya kontestan-kontestan lainnya justru jadi terlihat biasa saja.
Jelas saja saya menyayangkan ketika beberapa waktu lalu, salah satu "indikator" tersebut ternyata bermasalah, justru dengan salah satu juri. Mungkin pembaca sekalian juga mengetahui "peseteruan" yang melibatkan Gautama dengan Ernest Prakasa sebagai salah satu juri SUCI X saat itu, yang merasa tidak sreg kalau tebak-tebakan dimasukkan sebagai materi stand-up comedy. Sementara Raditya Dika, juri lainnya di pagelaran ini yang juga dikenal sebagai salah satu komika di Indonesia, ternyata justru tidak masalah dengan materi tebak-tebakan itu.
Bagi saya yang sekadar penikmat tayangan SUCI tiap Jumat malam, perbedaan persepsi ini jelas bikin resah. Keresahan ini, alih-alih menjadi materi stand-up, malah ngendon saja di benak saya dan meninggalkan berbagai pertanyaan yang tidak terjawab bahkan sampai kali kedua Gautama "bertemu" Ernest di panggung SUCI X di minggu selanjutnya.
Siapa sebenarnya yang berhak memutuskan definisi dari stand-up comedy itu? Apa sebenarnya batasan-batasan materinya?
Sayangnya, Ernest kemudian "meninggalkan" kursi juri di minggu selanjutnya. Iya, saya sesungguhnya menyayangkan. Saya merasa keresahan-keresahan saya tersebut sepertinya batal menemukan jawaban "versi Ernest" dikemudian hari, jika menemukan kreativitas materi komedi lain diluar pakem stand-up comedy yang telah dikenal sebelumnya.
Akhirnya, karena Ernest pun sudah nggak ada sementara keresahan saya belum hilang dari kepala, dari hasil penelusuran berbagai referensi saya menyarikan beberapa hal terkait hal ini. Pertama, seseorang dikatakan melakukan stand-up comedy jika ia tampil dihadapan penonton untuk menceritakan keresahan hatinya, kesehariannya, pengalaman-pengalaman hidupnya, serta hal-hal lainnya, dengan tujuan untuk menghibur. Yang membedakannya dengan pertunjukkan komedi lainnya adalah komika biasanya menyisipkan teknik-teknik khas seperti roasting (ejekan), act-out (gerakan fisik), impersonation (peniruan tokoh), dan lainnya.
Kedua, istilah "stand-up comedy" tidak selalu bisa diartikan secara harfiah, melawak (sambil) berdiri. Arti "stand up" itu sendiri berarti "stand up for what you stand for, for what you believe in.". Komika Pandji Pragiwaksono dalam salah satu konten Youtube-nya yang menjabarkan tentang definisi dari stand-up comedy, membuat saya mengerti bahwa sang performa yang melakukan stand-up comedy itu seperti orang yang sedang menyuarakan argumennya, menuturkan pendapatnya, mengkritisi hal-hal yang meresahkannya, atau bahkan menyerang sesuatu. Saya mengintepretasikan bahwa dalam sebuah materi stand-up itu ada keberpihakan terhadap sesuatu.
Saya menduga, hal ini yang mungkin saja membuat tebak-tebakan, yang menjadi ciri khas Gautama, tidak bisa masuk dalam kategori sebagai sebuah materi stand-up comedy. Apa iya tebak-tebakan menyuarakan keberpihakan pada sesuatu? Saya kutip beberapa nih tebak-tebakkannya Gautama di SUCI X yang sukses bikin saya ngakak. "Apa bedanya dipukul sama putar kiri? Dipukul tuh mau marah, diputar kiri itu maumere.". Satu lagi nih, "Pincang, pincang apa yang energik? Pincang Mambo.". Nah, kira-kira keberpihakannya pada apa??? Maumere? Pincang, eh, Pinkan Mambo?
Mungkin, dalam sebuah pentas komedi lainnya, guyonan seperti ini tidak akan menjadi masalah. Tapi karena SUCI X ini adalah sebuah pagelaran kompetisi, maka timbul persepsi bahwa menjadi tidak fair jika "memaafkan" materi tebak-tebakan karena (bisa saja) dianggap bukanlah bagian dari teknik stand-up comedy. Bisa jadi, kalau judul programnya tidak secara gamblang menvisualisasikan sebuah acara stand-up comedy, misalnya "Dunia Tawa", atau "Kompetisi Orang Lucu Indonesia", mungkin saja perkara Gautama tidak akan seheboh ini.
Kembali lagi, asumsi masing-masing tentang apa itu stand-up comedy justru jadi pemantik perdebatan terkait bagaimana batasan sebuah materi. Sempat terlontar adanya kekhawatiran bahwa kedepannya komika justru akan malas menulis materi karena melihat tebak-tebakan Gautama yang sukses membuat penonton tertawa. Tapi menurut saya, penampilan Gautama bisa "pecah" tidak semata karena ia asal melempar tebak-tebakan kesana-kemari saja. Saya merasa Gautama mampu menyampaikan kesatuan materinya dengan baik dan runut, sehingga tebak-tebakan itu tidak terasa sebagai sebuah tempelan.
Masih dalam konten Youtube-nya Pandji tersebut, saya mengetahui bahwa stand-up comedy bagi seorang Raditya Dika menurut penuturan Pandji, membutuhkan tiga elemen yaitu materi, delivery, serta penonton. Materi adalah sesuatu yang dipersiapkan untuk menghibur penonton. Arti delivery sendiri dari laman tempo.co, merupakan pembawaan atau cara komika menghibur penonton di atas panggung, meliputi mimik wajah, gestur, juga gaya bahasa. Â Dan saya merasa, Gautama mempunyai kemampuan delivery ini.
Saya tiba-tiba teringat seorang komika senior yang lekat dengan kata-kata pelesetannya. Apakah pada akhirnya beliau bisa dibilang kurang tepat menyandang status komika, karena mungkin saja ada pihak yang merasa membuat pelesetan itu mudah, dan tidak ada keberpihakan yang disampaikan dalam sebuah pelesetan?
Ah, mungkin pada akhirnya saya duduk manis sajalah, menunggu tawa. Ada baiknya saya nikmati peran sebagai pemirsa saja, tanpa perlu pusing memikirkan apakah materi sang komika masuk kriteria stand-up comedy atau tidak. Walaupun sebenarnya saya juga bertanya-tanya, kenapa Ernest justru standing applause buat Budi yang menutup stand up-nya dengan menyanyikan sebuah lagu? Kalau bernyanyi ternyata lebih "dimaafkan" dibanding tebak-tebakan, mungkin bisa jadi solusi juga untuk komika lainnya yang bingung mau closing apa kali ya?
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI