Mohon tunggu...
Dessy Liestiyani
Dessy Liestiyani Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta, mantan kru televisi, penikmat musik dan film

menggemari literasi terutama yang terkait bidang pariwisata, perhotelan, catatan perjalanan, serta hiburan seperti musik, film, atau televisi.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mempertanyakan Batasan Stand Up Comedy dari Kasus Gautama

7 Oktober 2022   22:29 Diperbarui: 17 Juni 2024   21:51 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.wikipedia.com

Mungkin, dalam sebuah pentas komedi lainnya, guyonan seperti ini tidak akan menjadi masalah. Tapi karena SUCI X ini adalah sebuah pagelaran kompetisi, maka timbul persepsi bahwa menjadi tidak fair jika "memaafkan" materi tebak-tebakan karena (bisa saja) dianggap bukanlah bagian dari teknik stand-up comedy. Bisa jadi, kalau judul programnya tidak secara gamblang menvisualisasikan sebuah acara stand-up comedy, misalnya "Dunia Tawa", atau "Kompetisi Orang Lucu Indonesia", mungkin saja perkara Gautama tidak akan seheboh ini.

Kembali lagi, asumsi masing-masing tentang apa itu stand-up comedy justru jadi pemantik perdebatan terkait bagaimana batasan sebuah materi. Sempat terlontar adanya kekhawatiran bahwa kedepannya komika justru akan malas menulis materi karena melihat tebak-tebakan Gautama yang sukses membuat penonton tertawa. Tapi menurut saya, penampilan Gautama bisa "pecah" tidak semata karena ia asal melempar tebak-tebakan kesana-kemari saja. Saya merasa Gautama mampu menyampaikan kesatuan materinya dengan baik dan runut, sehingga tebak-tebakan itu tidak terasa sebagai sebuah tempelan.

Masih dalam konten Youtube-nya Pandji tersebut, saya mengetahui bahwa stand-up comedy bagi seorang Raditya Dika menurut penuturan Pandji, membutuhkan tiga elemen yaitu materi, delivery, serta penonton. Materi adalah sesuatu yang dipersiapkan untuk menghibur penonton. Arti delivery sendiri dari laman tempo.co, merupakan pembawaan atau cara komika menghibur penonton di atas panggung, meliputi mimik wajah, gestur, juga gaya bahasa.  Dan saya merasa, Gautama mempunyai kemampuan delivery ini.

Saya tiba-tiba teringat seorang komika senior yang lekat dengan kata-kata pelesetannya. Apakah pada akhirnya beliau bisa dibilang kurang tepat menyandang status komika, karena mungkin saja ada pihak yang merasa membuat pelesetan itu mudah, dan tidak ada keberpihakan yang disampaikan dalam sebuah pelesetan?

Ah, mungkin pada akhirnya saya duduk manis sajalah, menunggu tawa. Ada baiknya saya nikmati peran sebagai pemirsa saja, tanpa perlu pusing memikirkan apakah materi sang komika masuk kriteria stand-up comedy atau tidak. Walaupun sebenarnya saya juga bertanya-tanya, kenapa Ernest justru standing applause buat Budi yang menutup stand up-nya dengan menyanyikan sebuah lagu? Kalau bernyanyi ternyata lebih "dimaafkan" dibanding tebak-tebakan, mungkin bisa jadi solusi juga untuk komika lainnya yang bingung mau closing apa kali ya?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun