Akhirnya, saya pun menemukan cara yang menurut saya paling oke dalam pembuatan cue card ini. Bagian belakang kartu dibuat seperti kantong, dari bahan plastik mika yang transparan. Skrip dan catatan-catatan dipotong seukuran cue card, kemudian tinggal diselipkan saja ke dalam kantongnya. Terlihat rapi, dan tidak meninggalkan bekas-bekas selotip.
Strategi pembuatan cue card yang saya rasa paling wokeh ini pun ternyata pernah juga bikin saya dipermalukan. Kesalahan saya saat itu memang fatal. Karena "sayang" melihat tumpukan kertas bekas di samping printer, tanpa pikir panjang saya pun mencetak skrip untuk keperluan cue card di atas kertas-kertas tersebut.
Hal yang sepertinya remeh itu ternyata sukses bikin saya jadi "sasaran tembak" saat item "tag host". Saat itu, kedua host sedang membacakan informasi pada cue card. Setiap kali mereka mengangkat cue card dan tersorot kamera, saat itulah kertas bekas di bagian belakang skrip terlihat oleh jutaan pemirsa. Cue card-nya sendiri sebenarnya sudah "terbungkus" logo program, seperti biasanya. Ndilalah, grafis logo yang tercetak pada cue card minim warna, bahkan cenderung transparan. Jadilah sang Kertas bekas ikutan mejeng di TV, lengkap dengan tanda silang besar warna merah yang memperjelas “identitasnya”! Astaga.
Kelanjutannya bisa ditebak. Saluran HT penuh teriakan caci maki ke saya yang kebetulan menjadi kru kreatif yang sedang bertugas di floor. Melihat hal itu tentu saja saya tidak berdiam diri, ngumpet, atau mematikan HT. Tapi saat itu pun saya sedang berusaha mati-matian memberikan cue ke host untuk menurunkan cue card-nya supaya tidak tersorot kamer. Kebetulan, saat itu saya tidak menyiapkan "matador" sebelumnya, sementara host pun tidak memakai earpiece. Jadi sebenarnya satu-satunya cara untuk “berkomunikasi” dengan host adalah melalui kode-kode “jungkir balik” kru di depan mereka.
Apesnya, kedua host tetap saja tidak menangkap maksud yang hendak saya sampaikan. Mereka hanya melongo dan, tentu saja, jadi mengganggu proses hosting yang sedang mereka lakukan. Akhirnya saya pasrah saja. Lha memang ini salah saya kok. Dan saya tidak bisa minta mengulang 'tag host' tersebut karena program yang sedang disyuting ini siaran langsung (live). Duh!
Ada lagi kisah seputar cue card ini yang tak kalah seru. Suatu saat, kami disibukkan dengan persiapan program ulang tahun stasiun TV. Sebagai program andalan, saat itu kami ingin membuat segala sesuatunya terlihat modern dan keren. Termasuk juga penggunaan cue card untuk host. Kebetulan saat itu, perangkat tablet baru saja nongol meramaikan tren gadget baru. Jadilah sang Tablet menggantikan peran sang Kartu laminatingan itu sebagai cue card andalan host.
Saya ingat, acara ‘prestise’ kami itu mendapat sponsor tablet yang baru saja di-launching produknya kurang dari sebulan. Masih gres. Baik host maupun kru kreatif yang bertanggung jawab “menjaga” host pun, akhirnya diwajibkan “belajar” dulu bagaimana mengoperasikannya. Maklum, saat itu masih “zaman”nya Blackberry. Seingat saya, pihak sponsor enggan meminjamkan produk anyarnya tersebut sebelum hari syuting. Alhasil, kami pun tetap menyiapkan cue card “manual” sebagai back up bila ternyata kami harus menghadapi masalah per-gadget-an.
Yang kami khawatirkan pun terjadi. Tablet tiba-tiba ngadat. Seakan kurang puas ngerjain kru, ia pun tiba-tiba off. Lowbat! Gadget baru itu sepertinya ngambek, tidak siap harus terus aktif selama enam jam lebih “mengikuti” live HUT TV.
Bagi saya pengalaman itu membuktikan bahwa tidak perlu sok-sok-an pakai cue card ‘canggih’ kalau pada akhirnya kami pun mengakali ke-modern-an itu dengan menempelkan kembali kertas skrip di belakangnya. Akhirnya, kami kembali menggunakan cue card ‘manual’. Sudah paling benar deh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H