Publik semakin terbiasa dengan kebebasan penyebaran informasi di berbagai kanal media sosial. Peningkatannya yang semakin pesat di masa pandemi menjangkau siapa saja untuk gatal membuat, membagikan, berkomentar, hingga mengubah aksi masyarakat hanya berdasarkan rekaman amatir berkedok live report tanpa penting untuk mengetahui kebenaran yang sebenar-benarnya terjadi.
Tak disangka, aktivitas jurnalisme warga semakin lama menjadi tren di tengah pengguna media sosial. Belum lagi media arus utama yang siap menangkap apa saja yang ‘ramai’ dan menggorengnya menjadi konten wacana berita yang siap menjadi viral di kalangan target pembaca.
Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran engagement yang tinggi dari hanya bermodal handphone dan rekaman dari sebuah ‘event’ yang terjadi di tengah masyarakat. Seolah menjadi ‘wartawan dadakan’ yang hanya memanfaatkan emosi para pengguna media sosial untuk turut menyoal situasi yang diperoleh.
Sebetulnya tidak asing dan tidak salah dengan era kontemporer, kehadiran teknologi memang membuat semuanya serba mudah. Mengundang keaktifan masyarakat yang harapannya turut memberikan informasi yang aktual dan tentu saja terpercaya.
Beberapa waktu terakhir ini masyarakat kembali diramaikan dengan pemberitaan seorang bapak-bapak yang mengamuk karena ditegur menggunakan masker Scuba di area pintu masuk Trans Jakarta.
Barangkali kita sebagai Netizen terfokus dengan 3 ‘aktor’ dalam rekaman video tersebut yaitu petugas penjaga, Bapak terlibat, dan individu dibalik layar yang berperan seolah citizen journalism.
Namun yang kemudian menjadi janggal adalah terekam bapak-bapak tersebut mengeluhkan dirinya sedang sakit dan memohon toleransi untuk bisa segera ke Rumah Sakit dan mengeluarkan uang untuk dimintakan kepada siapa saja membelikan masker yang seharusnya dianjurkan.
Namun sayang, perkataan bapak-bapak tersebut tidak diindahkan bahkan ‘dikompori’ oleh perekam kejadian untuk jangan dibelikan, sambil terus merekam.
Bapak-bapak tersebut terlihat emosi akan toleransi kemanusiaan untuk dirinya yang katanya sedang sakit tersebut. Sebelumnya, sebagai pembaca apa yang akan ada lakukan jika menemui kejadian seperti ini?
Kemunculan pandemi memang membuat siapa saja menjadi sensitif apalagi perihal pelanggaran protokol kesehatan. Tak jarang sanksi sosial menjadi alternatif hukuman bagi para pelanggar.
Namun sebagai penerima berita atau informasi apalagi yang sumbernya masih belum terjamin kredibilitasnya, penting juga kita untuk melakukan Tabayyun sebagai langkah mengetahui tingkat akurasi isi informasi.
Kembali pada persoalan case di atas, maka kembali memancing masing-masing pendapat yang secara emosional dilontarkan di kolom komentar pemberitaan. Tidak jarang bahkan para penerima informasi terlihat membela Bapak tersebut atas dasar kemanusiaan dan menyudutkan si perekam video yang malah ‘mengmpori’ petugas untuk tidak memperdulikan permohonan bantuan untuk dibelikan masker untuk Bapak tersebut.
Maka Objektivitas pada Journalisme berbasis online inilah yang kemudian menjadi tantangan diantara kecepatan dan aktualitas berita dengan tetap menghargai asas praduga tak bersalah (Priyambodo dalam Yohanes, 2010).
Dalam kaca mata teori Agenda Setting (McCombs dan Show) dimana media massa memiliki kemampuan dalam memberikan kesadaran masyarakat dengan menjadikan suatu isu yang dianggap penting sehingga menjadi agenda publik.
Protokol kesehatan di masa pandemi sedang ramai-ramainya dikampanyekan di tengah masyarakat, namun pandemi juga menghadirkn krisis kemanusiaan tersendiri dengan mengorbankan solidaritas antar sesama demi pemenuhan kebutuhan dan ego.
Agenda setting tidak sekaku sebelumnya, masyarakat sudah cukup kritis dalam melihat dan menelaah isi informasi yang dipilihnya, khalayak memiliki akses pada ‘news room’ (Maya, 2020). Tidak cukup melihat narasi pemberitaan di media sosial, tak jarang publik menyempatkan waktu sekedar melihat reaksi di kolom komentar pemberitaan sebagai langkah kecil double check dari sudut pandang pembaca yang lain.
Solusi terkait etika jurnalisme online terutama pada citizen journalism telah banyak disampaikan oleh para pakar dengan menilik kasus yang lebih kompleks. Dalam masa pandemi seperti inilah saat yang tepat untuk di-up kembali, dimana aksesbilitas publik dalam penayangan konten pemberitaan dan akses untuk viral semakin mudah didapat dengan ketersediaan platform media sosial.
Berdasarkan pemaparan solusi yang disampaikan (Yohanes, 2010) dengan belajar dari OhmyNews persoalan etika jurnalisme kontemporer, diharapkan kolaborasi jurnalis profesional dan jurnalis warga juga dapat tercapai dengan baik sesuai koridornya masing-masing sehingga kedepannya dapat menjamin kualitas dan standar etika jurnalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H