Keprihatinan utama kemudian timbul dari Paguyuban Pedagang Lesehan Malam Malioboro (PPLMM) yang menganggap bahwa konten keluhan soal harga hanya bagian upaya untuk menjatuhkan citra Malioboro dan Yogyakarta di dunia pariwisata.
Kemudian kita intip bagaimana media massa mengemas konten tersebut menjadi wacana berita:
Hampir seluruh headline berita menekankan pada harga "Rp37.000" atas konten viral tersebut, termasuk pemberitaan di berbagai akun media sosial. Sebuah pancingan reaksi, apakah wajar keluhan wisatawan menjadi viral karena dapat harga pecel lele seporsi Rp37.000 di Malioboro?
Kalau dilihat-lihat langsung pada sumber kontennya yaitu pada akun TikTok @auliaroket, posting-an tersebut menjadi salah satu konten dengan view terbanyak dibanding konten-kontennya yang lain yaitu total 1,3 views; 79,5 likes; 15,5 komentar; dan 2336 share.Â
Satu posting-an wisatawan berdampak pada citra sektor pariwisata di Yogyakarta. Bayangkan kalau konten-konten sejenis ini kemudian memicu para content creator lain untuk me-review kebenaran harga yang katanya mahal di sepanjang jalan Malioboro.
Antisipasi pihak pemkot Jogja cukup tanggap dalam merespon beragam rekasi pada konten tersebut dengan memberi kepastian jikapun benar pemilik konten tersebut membeli makanan di sepanjang jalan Malioboro, pihak PPLM melalui ketua Desio Hartonowati menyebutkan bahwa itu bukan dari pihaknya dan tidak tergabung dalam paguyuban dan komunitas PPLM (Detikcom, 2021).Â
Demikian pihak Pemkot yang telah menyisir bahwa betul tidak ada pedagang sepanjang jalan Malioboro yang mematok harga sedemikian mahalnya kepada pengunjung wisatawan.
Perdebatan netizen tak kunjung rampung di kolom komentar pemberitaan, banyak sudut padang kemudian muncul atas kasus tersebut, seperti standarisasi lalapan dijual terpisah, kewajaran harga yang sedikit lebih mahal karena di tempat wisata, harga lapak di sepanjang jalan Malioboro, hingga keprihatinan para pedagang kaki lima di tempat wisata selama pandemi.