Mohon tunggu...
Dessy Kushardiyanti
Dessy Kushardiyanti Mohon Tunggu... Dosen - No Limit, No Regret, No Excuse

Dosen Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Syekh Nurjati - Master of Arts, Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita Lama Victim Blamming, Kapan Ending-nya?

26 April 2021   08:25 Diperbarui: 26 April 2021   13:05 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Normalisasi victim blamming di Indonesia nampaknya sudah menjadi kewajaran yang tak patut tumbuh di masyarakat. 

Apakah suatu kesalahan jika korban membela dirinya sendiri dari aksi sexual harasment, lalu kenapa malah menjadi target justifikasi hingga labeling sebagai pribadi yang tak bisa jaga diri?

Berbagai kasus pelecehan seksual marak diberitakan di media massa online, paparan pemberitaan yang seolah menyudutkan korban terkesan menjadi vulgar dimana korban tersudutkan karena rasa malu yang menimpanya dan empati terhadap pelaku atas dalih tak tahan menahan gairah melihat posting-an korban di media sosialnya.

Dilansir pada majalah Magdalene dan situs petisi online Change.org, Lentera Sintas Indonesia menyatakan 90% korban pelecehan sosial memilih diam akibat tekanan sosial dan rasa malu yang dialaminya, dan pemberitaan yang tak jarang menyalahkan korban yang mengarah pada sadisme seksual.

Belum lagi stereotipe yang tumbuh pada pola pikir masyarakat bahwa korban menjadi tertuduh utama dalam tindakan victim blamming yang terjadi khususnya di media digital dan adanya landasan berpikir bahwa segala sesuatu yang sudah di-post di media sosial otomatis jadi konsumsi publik. Hal tersebut kemudian memicu situasi yang disebut dengan istilah rape culture , dimana lingkungan yang kondusif untuk terjadinya kekerasa seksual salah satunya dipengaruhi oleh seperangkat nilai dan keyakinan tertentu yang tumbuh di tengah masyarakat (Boswell dan Spade, 1996).

Media digital merupakan ranah cyberspace yang kini lazim digunakan oleh siapa saja meluapkan ekspresi melalui posting-an hingga aktivitas komentar. 

Hal ini dapat menjadi peluang bagi penggunanya dalam melancarkan aksi pelecehan seksual yang mayoritas dialami oleh perempuan. Hidup di jaman influencer juga terkadang menjadi tantangan tersendiri dalam menahan godaan popularitas dan pengakuan netizen, tak jarang bahkan beberapa artis mengaku risih dengan objektifitas bagian tubuh yang menjadi sasaran pelecehan seksual di media sosial.

Padahal sudah menjadi tuntutan bagi para pelaku industri hiburan untuk menjaga penampilan termasuk gaya berbusananya, namun tak jarang menjadi sasaran oleh pengguna media sosial 'nakal' dengan menyalahkan cara Ia tampil dan berpakaian.

Walaupun berbagai campaign berkaitan dengan social harasment telah dilakukan nampaknya tak menyurutkan aksi pelaku apalagi kini pelecehan seksual dalam ranah media digital dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya dibalut dengan candaan yang dinormalisasikan atau istilahnya rape jokes. 

Seperti melalui komentar, "Ada yang bulat tapi bukan tekad", lelucon pemerkosaan, dan konten-konten unfaedah melalui ekspresi muka yang menyaratkan nafsu hingga ekspresi mesum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun