Mohon tunggu...
Dessy Indah Nathalia Siregar
Dessy Indah Nathalia Siregar Mohon Tunggu... -

Suka alam, natural dan kejujuran

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mencicipi Makanan di FJB 2015

1 Juli 2015   00:38 Diperbarui: 1 Juli 2015   00:44 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia berada di garis katulistiwa, dengan iklim tropis yang mempunyai banyak keuntungan, diantaranya kekayaan alam Indonesia, dari Sabang sampai Merauke

 

Iklim tropis mempunyai suhu yang hangat, tidak terlalu dingin dan juga tidak terlu panas yang membuat tanah dan laut di Indonesia menjadi subur dan baik untuk kehidupan alamnya.

 

Hal ini tentu mempengaruhi makanan pokok penduduk Indonesia. Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, beras yang diolah menjadi nasi merupakan makanan pokok, namun di Indonesia bagian Timur, jagung dan sagu juga merupakan makanan pokok.  Selain nasi, sagu dan jagung, makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia juga kentang, talas dan singkong.

 

Salah satu produsen besar dibidang kuliner, yaitu kecap bango memulai gebrakan dengan mengadakan kegiatan seputar kuliner.

Tahun 2004, Kecap Bango mengadakan Gerobak Sate Bango, dan mulai tahun 2005 menjadi Festival Jajanan Bango dan diadakan di beberapa kota besar di Indonesia, dan berlangsung hingga sekarang, tahun 2015. Misi sosial Bango adalah melestarikan warisan kuliner nusantara.

 

Bagi pecinta kuliner Indonesia, tentu Festival Jajanan Bango menjadi ajang yang dinantikan, karena dalam kita bisa mencicipi makanan dari Barat hingga ke Timur Indonesia hanya dalam satu tempat dengan harga yang terjangkau.

 

Tahun 2015 ini, Festival Jajanan Bango dilaksanakan di tiga kota, yaitu Yogyakarta, Surabaya dan terakhir di Jakarta, tanggal 14 Juni 2015, beberapa hari sebelum Ramadhan.

 

Bertempat di Plaza Barat Senayan, Festival Jajan Bango kembali menggaet 80 peserta kuliner. Seperti tahun sebelumnya, makanan dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu : jagoan kuliner Indonesia bagian barat, bagian tengah, timur dan makanan penutup/ makanan ringan.

 

FJB kali ini, juga diramaikan oleh  3 dari 4 peserta world street food congress yang diadakan April lalu di Singapura, diantaranya Ayam Taliwang Bersaudara, Kupat Tahu Gempol dan Gudeg Yu Nap.

 

Tahun lalu, saya dan suami mengajak keponakan yang kecil ke FJB 2014. Rupanya, cerita kami membuat keponakan saya yang besar beserta ibunya bertekad harus mengunjungi FJB 2015, karena ingin juga mencicipi makanan nusantara dari ujung barat hingga ke timur.

 

Pada pelaksanaan FJB kali ini, dibagi beberapa area.  Dari pintu masuk kita langsung disuguhi beberapa stand makanan, diantaranya sate klatak mak Adi Yogyakarta, Kerang Hitam Manis Piccolinos dan es Pallubutung Ourora.

 

Karena kami terdaftar pada talkshow yang diadakan oleh Bango, maka kami menuju media room. Acara talkshow mulai, namun keponakan dan adik ipar saya mulai gelisah, ternyata, mereka sengaja mengosongkan perut untuk bisa mencicipi makanan di FJB ini. Pelan-pelan mereka keluar ruangan dan mulai menjelajah mencicipi makanan yang ada di FJB 2015.

 

Pertama-tama yang dipilih adalah coto Makassar Kedai Pelangi. Sore itu, antrian kuliner ini tidak begitu banyak. Keponakan saya yang besar langsung memilih makanan ini.  Sedangkan ibunya, mengantri sate padang.  Kami memang sengaja memilih makanan berbeda agar saling mencicipi.

 

Acara talkshow berlangsung hingga sore, beruntung saya masih disisakan sedikit coto Makassar, namun sate padang ludes tidak tersisa. Begitupun dengan bebek dan ayam tangkap Atjeh Reuyeuk, ayam taliwang Bersaudara dan gado-gado Kertanegara.

 

Selesai dari talkshow, saya menuju stand makanan. Awalnya melihat pengunjung yang sangat padat dengan antrian panjang tiap stand makanan membuat saya terkejut.

 

Saya memesan Ayam Bakar Bali Qui, karena tidak terlalu ramai. Keluarga saya sudah mengambil tempat duduk dekat panggung, sehingga cukup sulit menuju stand dan meja karena penuhnya pengunjung.

 

  
Sampai di meja, keluarga saya mencicipi ayam bakar yang saya bawa, begitupun keponakan saya, dia membawa Kupat Tahu gempol. Kembali kami mencicipi.

 

     
     

Mencicipi beberapa makanan, belum ada yang "enak" menurut saya dan keluarga. Rasanya masih standar, sedang saja. Akhirnya keponakan yang kecil mencoba Roti Cane Seulawah, Serabi Solo Nikimawon, Es kolang-kaling Pelangi.

 

    
Kembali mencari makanan "berat" saya melihat dekat jagoan kuliner Indonesia Timur, ada beberapa meja dan kursi yang tidak penuh. Padahal di tempat saya duduk, sepertinya orang banyak berdesakkan.

 

Menurut saya, dibanding tahun lalu, penataan ruang FJB kali ini tidak sistematis dan tidak informatif.  Tahun lalu, pengunjung disuguhi dengan kedelai malika, dan tempat yang luas. Untuk meja dan bangku/ kursi tersedia banyak dan menyatu, tidak terpecah seperti sekarang.

 

Sedangkan FJB kali ini saya menilai tempatnya lebih sempit, penataan ruang yang kurang. Antrian panjang hingga melingkar pun saya temui. Jujur saja, melihat orang banyak, antrian panjang, meja dan kursi penuh, sempat membuat kepala saya pusing, karena kondisi saat itu sedang lapar. Sekitar hampir setengah jam saya duduk dan hanya mencicipi makanan yang ada di meja, tidak mencoba antri.

Berbeda pada FJB 2014, meja yang banyak sehingga mau makan pun tidak perlu berebut meja dan kursi.  Tidak sedikit saya melihat orang makan sambil antri makanan di stand tertentu.

 

Kemudian saya mencoba Pallubasa Makassar.  Dari seluruh makanan, Pallubasa adalah makanan yang paling tidak enak. Adik ipar saya saat mencicipi hampir mau muntah, karena dagingnya masih bau.  Sebelumnya memang teman saya sudah mengingatkan bahwa Pallubasa tidak enak, namun saya pikir, enak dan tidak enak adalah subjektif dan tergantung yang masak juga.

 

Banyak stand yang sudah habis/ tutup, sehingga kami tidak bisa menikmati banyak makanan. Kami memang datang siang hari, karena saat itu, kami ada acara dari hari Sabtu hingga Minggu siang, sehingga belum pulang kerumah, kami langsung menuju FJB. Rupanya, sejak siang pun beberapa stand sudah tutup/ habis, diantaranya Gudeg Yu Nap, salah satu peserta World Street Food Congress.

 

Kami juga mencoba pempek ibu Elly, Sate Klatak Mak Adi Yogyakarta, Sop Ikan Batam, Mie Aceh Bang Iwan dan Kerang Hitam Manis Piccolinos.

 

    
Semakin malam, antrian semakin panjang, seperti Sop Durian Lodaya, Nasi goreng Kambing Kebon Sirih, Mie Aceh Sabang bahkan Konro Bakar Daeng Tata antriannya hingga dua baris dan melengkung.

 

Sedang asik keliling mencari yang cukup sepi antrian, saya melihat antrian panjang namun di stand tertulis habis/ tutup. Namun beberapa pekerja sedang sibuk. Saya pun tergelitik untuk antri, Es Pallubutung Ourora. Saya pribadi belum pernah mencoba, cuma saya berpikir, jika orang rela antri padahal masih sedang persiapan, bisa jadi rasanya enak, sehingga saya pesan beberapa es pallubutung.

 

Sebenarnya saya ingin mencicipi Bebek Kaleyo, namun sayang, nasinya habis, sehingga ditutup. Lalu saya mulai membungkus Soto Padang Hayuda, Martabak Kubang dan Gudeg Yu nap. 

 

   
Secara jujur, makanan di FJB 2015 tidak membuat saya "ketagihan" berbeda waktu FJB 2014. Bisa jadi karena suasana yang membuat "mood" sempat turun.

 

Sebenarnya saya ingin sekali mencoba ayam ricarica "tinutuan amurang" dan ikan bakar Parape, namun kedua makanan ini sudah habis. Jadi saya tidak bisa mencicipinya.

 

Menurut saya makanan di FJB 2015 terlalu banyak menggunakan beras (nasi/ lontong/ kupat), sebaiknya dibuat tidak terlalu dominan. Bagaimanapun Indonesia mempunyai 3 (tiga) makanan pokok, yaitu Nasi, Sagu dan Jagung. 

 

Saya berharap, FJB tahun depan ada makanan dari sagu dan jagung, sehingga generasi muda yang datang di FJB 2016 dapat mengetahui, merasakan, menikmati dan bercerita tentang sensasi makan papeda, atau makanan khas lain dari Indonesia Timur, seperti Maluku dan Papua.

 

Tahun lalu, saya melihat FJB 2014 melakukan kampanye secara mendidik kepada generasi muda, dari kedelai malika, "museum kecap bango", display bahan hingga produk. Untuk photo sesinya pun ada alat-alat seperti pacul, topi caping, dll.  Sedangkan di FJB 2015 saya melihat tempat bermain anak-anak yang menurut saya tidak ada hubungannya dengan kecap bango. Jika memang diadakan tempat bemain, bisa diberikan edukasi tentang kecap bango.

 

Stage/ panggung musik, berada di depan, sebaiknya berada di tengah agar bisa dilihat, atau agak ke belakang, tidak di depan, sehingga pengunjung bisa menikmati makanan dan musik secara bersamaan.  Kemasan panggungnya pun tidak seapik tahun lalu.

 

Screen besar, kalau tidak salah saya melihat ada 2 (dua), sebaiknya posisi di dekat tempat makan, sehingga bisa menikmati tayangan screen sambil makan, tidak sambil berdiri.

 

Indonesia sangat kaya, jika memungkinkan tidak hanya makanan tradisional yang bisa dinikmati oleh dewasa, namun juga anak-anak atau batita. Bisa jadi setiap daerah berbeda memberikan makanan terhadap bayi/ batita mereka, sesuai dengan kondisi alam daerah masing-masing.

 

Semoga FJB 2016 menjadi lebih mencakup makanan dari Sabang sampai Merauke, sehingga misi kecap untuk melestarikan kuliner nusantara dapat terlaksana dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun