Mohon tunggu...
Dessy Franly
Dessy Franly Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Life is Anicca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesianis Paham tentang Batik dan Wayang? Kamu Juga Harus Paham!

7 Maret 2022   11:00 Diperbarui: 7 Maret 2022   11:06 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanah air kita penuh dengan pesona budaya yang amat kaya dan unik. Saat kita ingin memahami secara lebih komprehensif mengenai suatu budaya, kita dapat mengaksesnya dengan dijembatani oleh Teori Kajian Budaya (Cultural Studies). Ketika ingin mengkaji sebuah budaya, kita perlu memperluas makna kebudayaan dalam pikiran kita. 

Kebudayaan sesungguhnya tidak lagi hanya sebatas warisan sekelompok orang yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, melainkan lebih merujuk pada hal yang sifatnya lebih situasional dengan bergantung pada kekuasaan dan hubungan yang dinamis dalam kehidupan (Arybowo, 2010, h. 209-210). 

Jadi, ketika mengkaji sebuah kebudayaan, kita dapat melihat kebudayaan seperti melekat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana produksi suatu budaya dan juga bagaimana makna kebudayaan itu mengalami konstruksi, reproduksi dan dekonstruksi. 

Membahas kata “budaya” di Indonesia tentu seperti tiada ujungnya. Akan tetapi, tidak semua masyarakat peka dan ingin paham secara komprehensif tentang budaya Indonesia itu sendiri. Minimnya pengetahuan dan kekritisan akan budaya Indonesia membuat saya juga menjadi rendah diri ketika tahu bahwa begitu banyak Indonesianis yang lebih paham dan bahkan lebih “cinta” kepada budaya Indonesia. 

Salah seorang Indonesianis yang melakukan riset mengenai budaya Indonesia adalah Masakatsu Tozu yang justru berasal dari negara penjajah tanah kita, Jepang. Ia (Tozu, 2017) membuat tulisan jurnal mengenai Batik Indonesia dengan judul “Forming Process of Batik Indonesia One Type of Forming of National Culture in Indonesia” yang terbit pada tahun 2017. 

Sangat terkesima ketika membaca tulisannya. Ia bahkan dapat dengan sangat detail menuliskan mengenai produksi batik; bagaimana batik yang awalnya merupakan ethnic culture, menjadi national ethnic dan bahkan saat ini menjadi world heritage; bagaimana makna batik terus mengalami reproduksi; bagaimana permasalahan serta jatuh bangun eksisnya batik di Indonesia. Menjadi pertama kalinya saya mengetahui tentang batik secara sangat lengkap melalui tulisannya. 

Tozu (2017, h. 66) memberi pengetahuan bagi pembaca bahwa batik dan wayang merupakan seni yang berkembang menjadi budaya keraton asli Jawa. Batik kala itu menjadi budaya yang sangat dilindungi secara khusus sebab dinilai memerlukan waktu berbulan-bulan untuk memproduksi batik (Tozu, 2017, h. 67; Geertz). Produksi batik sendiri menjadi ekspresi budaya Hindu-Jawa yang diperuntukkan untuk kelas Priyayi. Jadi, awalnya batik dimaknai menjadi kekuatan dan simbol keraton sebagai pusat budaya kerajaan Hindu-Jawa.

Tozu (2017) juga memaparkan bagaimana makna batik terus mengalami reproduksi. Seiring dengan berkembangnya produksi batik di kalangan masyarakat dan adanya larangan beberapa desain batik, maka batik yang dahulunya dimaknai sebagai simbol kekuasaan para bangsawan menjadi diperluas dengan dimaknai sebagai simbol budaya kerajaan dan masyarakat komunal. 

Tidak berhenti sampai situ. Seiring berjalannya waktu lagi, akibat dari masuknya batik imitasi buatan Eropa, maka minat masyarakat terhadap batik kian meninggi. Oleh sebab itu, terdapat tuntutan bagi industri batik yang masih menggunakan teknik tradisional untuk berubah. 

Akhirnya, muncullah Batik Cap yang lebih mudah dan efisien dalam proses produksinya. Sejak saat itu, permintaan masyarakat akan batik semakin meluas hingga akhirnya motif tradisional yang hanya digunakan oleh para bangsawan akhirnya diizinkan untuk dipakai oleh masyarakat biasa. Hal ini menjadikan makna batik mengalami reproduksi lagi, yaitu makna budaya batik menjelma menjadi budaya kerakyatan. 

Tidak hanya membahas mengenai produksi dan reproduksi batik, namun masa penurunan Batik juga disinggung. Batik mengalami penurunan ketika modernisasi terjadi. Tozu (2017) menaruh perhatian terkait pakaian masyarakat Indonesia, bahkan di Yogyakarta sebab pakaian barat ternyata sudah umum. Saya sendiri sangat setuju dengan pernyataan Tozu sebelumnya. Tidak perlu segan ketika Anda mengakui bahwa batik seperti pakaian yang sudah dinomor sekiankan dalam hidup kita. 

Memakai pakaian dengan style barat sudah menjadi yang paling keren. Batik? Sangat kuno dan hanya untuk acara resmi pemerintahan! Ketika kita memikirkan secara mendalam realita gaya hidup masyarakat yang cukup meninggalkan jauh batik, terlintas juga rasa sedih. Inilah pekerjaan rumah yang harus kita benah secara pribadi tentang pola pikir berbatik.

Melihat penurunan batik di masyarakat, tetap bisa dikatang untung. Tozu memberikan pandangan terkait perbedaan batik dan kimono yang memberikan variasi unik dalam tulisannya. Beruntung ketika batik menjadi seni yang tidak hanya melulu mengenai pakaian, melainkan penggunaannya dapat diaplikasikan di berbagai hal seperti tas, taplak meja, tikar, dan lain sebagainya, sebab Tozu (2017, h. 73) menuliskan bahwa ternyata Kimono Jepang sangat terbatas penggunaannya.

Sungguh sangat menarik tulisannya sebab kita masyarakat Indonesia menjadi paham akan batik. Kajiannya mengenai budaya Batik Indonesia sejalan dengan Teori Kajian Budaya yang memang juga merujuk pada makna budaya tersebut. Saat membaca tulisan Tozu (2017), ia sempat menyinggung tentang budaya seni lain, yaitu wayang. 

Jujur, saya sangat tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai wayang Indonesia. Akan tetapi, beruntung ketika saya juga menemukan seorang Indonesianis yang menulis artikel jurnal terkait pengalamannya mengenai wayang, yaitu Kathy Foley dengan judul “Cross Cultural Research: Experiences in Sundanese Wayang Golek of West Java”. Jelas Indonesianis ini sangat membuat hati saya bergejolak untuk ingin ikut paham akan budaya Indonesia.

Sumber: Kebudayaan.kemdikbud.go.id
Sumber: Kebudayaan.kemdikbud.go.id

Foley (n.d.) menuangkan pengalamannya di Indonesia ketika riset dan mempelajari budaya seni pertunjukkan Wayang Golek dari Jawa Barat untuk tesisnya. Ia menyadari bahwa sesungguhnya memahami makna dari sebuah budaya akan lebih maksimal apabila langsung datang dan terlibat dalam lokasi penelitian bersama subjek penelitian. Saat mempelajari mengenai wayang, Foley mengatakan bahwa yang menjadikannya rumit adalah bahwa seni ini mengembangkan konsep kerahasiaan. 

Ketika meneliti di Indonesia, Foley berusaha mencari solusi atas masalah yang dihadapinya. Menghadapi realitas di mana ia harus berkomunikasi dengan warga Indonesia yang hanya dapat berbahasa Sunda di Jawa Barat, ia awalnya mencari seorang teman yang bisa berbahasa Inggris dan bahasa Sunda lalu mencoba mempelajarinya untuk bisa bersosialisasi dengan warga sekitar Jawa Barat. 

Ia sadar apabila menggunakan Bahasa Indonesia, maka ia tidak akan pernah dekat dengan masyarakat. Oleh sebab itu, ia berpindah dari kota ke desa yang mayoritas berbicara bahasa Sunda. Akhirnya ia dapat mempelajari lebih dalam seni budaya Wayang Golek dan bahkan sebelum meninggalkan Indonesia, ia melakukan pertunjukkan Wayang Golek Cepak dalam bahasa Sunda.

Menetap cukup lama di Sunda dalam rangka penelitian, menjadikan orang-orang sadar bahwa Foley bisa makan nasi. Memakan nasi ketika di Indonesia tentu menjadi gaya hidup barunya yang berbeda ketika ia tinggal di negara asalnya. Mempelajari dan mengkaji budaya ternyata akan sejalan juga dengan penciptaan budaya baru dalam diri kita.

Pengalamannya dalam meneliti dan mempelajari langsung budaya lain, seperti Wayang di Indonesia turut menyimpulkan nasihat-nasihat bagi peneliti masa depan. Saya sangat setuju dengan nasihat Foley dalam tulisannya, yaitu bahwa begitu pentingnya persiapan diri sebaik mungkin dan tidak berpatok pada buku-buku. 

Hal ini dikarenakan setiap buku belum tentu sesuai dengan perspektif dan subjek penelitian Anda. Sangat penting pula untuk mempersiapkan mental sebab seperti yang dikatakan oleh Foley bahwa ketika ingin memahami budaya lain, maka itu sama halnya seperti kembali sebagai bayi yang mulai belajar segala sesuatunya dari nol.

Akhir kata, mengkaji sebuah budaya tentu bukan pekerjaan yang mudah. Bahkan, memahami budaya asal negara sendiri juga sangat sulit. Melihat para Indonesianis yang lebih paham daripada kita tentang budaya Indonesia menjadi tamparan keras bagi kita semua untuk harus juga paham tentang budaya kita sendiri. Tulisan Tozu (2017) dan Foley (n.d.) ini dapat menjadi artikel jurnal yang bisa Anda baca untuk memahami secara mendalam khususnya tentang Batik dan Wayang Golek. 

 

Daftar Pustaka:

Arybowo, S. (2010). Kajian budaya dalam perspektif filosofi. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 12(2), 209-230. Diakses dari https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/110/91

Foley, K. (n.d.). Cross cultural research: Experiences in sundanese wayang golek of west java. Móin-Móin-Revista de Estudos sobre Teatro de Formas Animadas, 2(16), 150-157. Diakses dari https://www.revistas.udesc.br/index.php/moin/article/download/12100/7705 

Tozu, M. (2017). Forming process of batik indonesia one type of forming of national culture in indonesia. Javanologi, 1(1), 65-75. Diakses dari https://portal.uns.ac.id/javanologi/wp-content/uploads/sites/26/2021/07/Forming-Process-of-Batik-Indonesia-One-Type-of-Forming-of-National-Culture-in-Indonesia.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun