Pers memainkan peran penting dalam demokrasi sebagai pilar keempat yang bertanggung jawab dalam fungsi kontrol sosial. Kebebasan pers merupakan kado istimewa bagi demokrasi setelah reformasi tahun 1998. Melalui kebebasan pers, masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Dalam perannya sebagai kontrol sosial, pers seharusnya memiliki kebebasan untuk mengungkap fakta tanpa ancaman. Sayangnya, di lapangan, pers kita masih rentan terhadap berbagai tekanan dan ancaman, meski diakui sebagai pilar keempat demokrasi. Keberadaan media sosial sebagai sumber berita juga berdampak pada industri pers konvensional, menyebabkan berkurangnya minat publik terhadap jurnalisme yang profesional.
Tantangan tersebut diperparah dengan intervensi dari pihak tertentu, yang dapat menekan independensi media. Tak heran jika RSF (Reporters Without Borders/Reporter Sans Frontieres) selaku lembaga dunia yang memantau kebebasan pers dunia, masih memberi skor sangat rendah untuk Indonesia, yakni peringkat ke-111. Permasalahan ini menunjukkan bahwa pers masih membutuhkan kebijakan yang melindungi kebebasan pers tetapi juga mampu menjaga kredibilitasnya. Melalui berbagai permasalahan yang ada, mampukah rezim saat ini memperbaiki kebebasaan pers demi menyokong demokrasi, atau justru memperburuk situasi?
Terselenggaranya pelantikan pemimpin yang baru memunculkan harapan baru bagi banyak pihak. Tepat pada hari Minggu, 20 Oktober 2024, pasangan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi mengemban tugas sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menggantikan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Usai acara pelantikan, pada malam harinya, Prabowo Subianto mengumumkan susunan kabinet yang diberi nama Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka. Komposisi kabinet ini cukup mengejutkan karena beberapa kementerian diisi oleh figur-figur yang sebelumnya tidak diperkirakan. Komposisi kabinet juga menjadi perhatian penting, mengingat kebijakan yang akan diambil pemerintahan baru ini berpotensi besar memengaruhi masa depan pers. Harapannya, pemerintahan yang baru ini mampu mengedepankan kebebasan pers sebagai pilar penting demokrasi.
Salah satu yang paling mencolok adalah pergantian nama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjadi Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi). Pergantian nama ini diklaim sebagai bentuk penyesuaian terhadap perkembangan zaman, di mana digitalisasi sudah menjadi fondasi utama di berbagai sektor, termasuk komunikasi. Kementerian ini diharapkan akan lebih fokus pada pemanfaatan teknologi digital dalam segala aspek komunikasi dan informasi, termasuk regulasi mengenai dunia pers. Namun, belum ada titik terang apakah adanya perubahan ini menjadikan pemerintah lebih responsif terhadap isu digitalisasi, atau justru akan memperketat regulasi untuk mengendalikan aliran informasi.
Menariknya, Prabowo menunjuk seorang mantan wartawan berpengalaman, Meutya Hafid, untuk mengisi posisi Menteri Komdigi. Menteri baru ini dikenal sebagai sosok yang ramah terhadap jurnalis dikarenakan memiliki rekam jejak panjang dalam dunia jurnalistik. Karirnya dimulai sebagai wartawan televisi, yang membawanya meliput berita di berbagai wilayah, termasuk daerah konflik. Pengalamannya sebagai jurnalis yang pernah bertugas di berbagai daerah membuatnya memahami tantangan yang dihadapi wartawan di lapangan, termasuk kendala dalam hal kebebasan pers dan ancaman kriminalisasi. Ia dikenal vokal dalam memperjuangkan hak-hak wartawan dan independensi media. Kini, Meutya ditunjuk sebagai Menteri Komdigi dengan harapan mampu merancang kebijakan melalui perspektif yang lebih memahami kebutuhan dan tantangan yang dihadapi pers, tanpa melupakan aspek keamanan dan kredibilitas informasi di era digital.
Pada momen sebelumnya, banyak Undang-undang yang jadi benalu bagi kebebasan pers. Mulai dari UU ITE yang memakan banyak korban wartawan, hingga pemberantasan melalui RUU Penyiaran. Pers memang berperan untuk menjaga demokrasi sebagai pilar keempat, tapi secara ekonomi dan bisnis, pers juga perlu putaran uang untuk menjalankan media. Sehingga diperlukan regulasi yang tidak merugikan insan pers. Sebagai Menteri Komdigi, Meutya Hafid diperkirakan akan merumuskan kebijakan yang berfokus pada perlindungan hak-hak jurnalis dan memastikan arus informasi yang berkualitas di tengah masyarakat. Mengapa demikian? Sebab dalam beberapa kesempatan, ia menegaskan pentingnya menjaga kebebasan pers melalui regulasi yang melindungi jurnalis dari ancaman kriminalisasi dan tekanan politik. Pengalamannya di dunia pers memberinya wawasan tentang tantangan yang dihadapi wartawan dalam menjalankan tugasnya, mulai dari sensor hingga ancaman keselamatan.
Oleh karena itu, salah satu langkah yang seharusnya diambil Komdigi adalah penyusunan regulasi yang memfasilitasi perlindungan hukum bagi pers, mencakup kebijakan perlindungan data pribadi dan pemantauan konten digital, serta menjamin distribusi informasi yang benar dan akurat sebagai upaya melawan hoaks. Namun, regulasi ini tentu akan menuai pro dan kontra, di mana insan pers juga khawatir akan adanya potensi pembatasan berlebihan yang bisa berdampak pada kebebasan pers.
Selain fokus pada Menteri yang akan memimpin Komdigi, tentu kita juga perlu meninjau jejak digital Prabowo selaku Presiden Republik Indonesia yang memiliki pengaruh besar terhadap pengambilan keputusan pada pemerintahan saat ini. Rekam jejak digital Prabowo Subianto dalam berinteraksi dengan media cukup kompleks. Meninjau berbagai interaksinya dengan pers selama bertahun-tahun di dunia politik, Prabowo terlihat sebagai sosok yang kadang kontroversial dalam merespons media. Ada kalanya beliau terlihat kritis terhadap pers yang dianggap tidak netral, namun di sisi lain, beliau juga menyatakan komitmen untuk menjaga kebebasan pers.
Pada beberapa kesempatan, ia terkesan menghindari konferensi pers atau membatasi interaksinya dengan media, terutama saat membahas isu-isu sensitif. Salah satu momen yang menimbulkan kritik adalah ketika Prabowo tidak hadir dalam konferensi pers penting terkait kebijakan pers, yang memunculkan anggapan bahwa ia kurang berkomitmen terhadap kebebasan pers. Meski begitu, di era kepemimpinannya sebagai presiden, diharapkan akan ada pendekatan yang lebih terbuka, terutama dengan hadirnya Komdigi yang bisa mengawasi kebijakan komunikasi digital. Prabowo diharapkan mampu menyeimbangkan perannya dalam menjaga hubungan positif dengan pers, serta menjamin regulasi yang tidak menghambat kebebasan media. Jejak digital ini memberikan gambaran campuran, sehingga sulit diprediksi bagaimana sikapnya secara konsisten terhadap pers di masa depan.
Sementara itu, Gibran Rakabuming Raka, sebagai tokoh muda dengan latar belakang politik yang relatif baru, menunjukkan pendekatan yang berbeda terhadap pers dibandingkan dengan Prabowo. Jejak digitalnya mengindikasikan sikap yang lebih terbuka terhadap pers, terutama di lingkup pemerintahan daerah ketika ia menjabat sebagai Wali Kota Solo. Gibran terlihat cukup fleksibel dan memahami dinamika media baru, seperti media sosial. Meski mudah berbaur dengan media, Gibran juga dipandang sebagai sosok yang menyebalkan karena perilakunya yang sering kali menjawab pertanyaan secara singkat. Bagaimana Gibran akan bersikap dalam isu-isu pers di tingkat nasional masih menjadi tanda tanya Sehingga, keterbukaan ini harus diimbangi dengan kebijakan yang tepat, terutama mengingat posisinya sebagai Wakil Presiden yang bisa berdampak pada kebijakan pers nasional.
Melihat berbagai dinamika yang terjadi, AJI Bandung memetakan bahwa masa depan pers akan banyak menimbulkan tantangan kebebasan sipil maupun kebebasan pers dibandingkan era sebelumnya. Terutama dalam memastikan kebebasan pers tetap terjaga di tengah perkembangan digital dan menghadapi era digital yang penuh disrupsi. Di sisi lain, peluang besar muncul dengan adanya Komdigi, yang bisa menjadi jembatan antara kebebasan pers dan keamanan informasi. Kehadiran Meutya Hafid juga menjadi aset penting, karena ia dipandang memahami kebutuhan pers dan bisa merancang regulasi yang mendukung ekosistem media yang profesional dan independen. Era Prabowo-Gibran juga menghadirkan peluang bagi pers untuk lebih beradaptasi dengan digitalisasi, meski di sisi lain juga tetap perlu waspada. Berkaca dari kekompakan buruh untuk menghapuskan beberapa pasal yang merugikan buruh pada RUU Omnibus Law, insan pers diharapkan mampu bekerja sama untuk mengawal RUU Penyiaran, dan kebijakan-kebijakan lain demi masa depan pers yang lebih baik. Dengan berbagai tantangan yang ada, insan pers perlu terus bersikap kritis dan memperjuangkan hak jurnalis, agar tetap menjadi suara bagi publik dan menjaga semangat demokrasi yang sehat.