Bola adalah olah raga yang indah untuk dilihat. Dribbel pemain dunia semisal Zizou seperti tarian indah yang enak untuk dinikmati. Gol-gol dari sudut sulit yang dibuat oleh Ibrahimovic membuat jantung penonton berdegup kencang dan akhirnya pecah dengan teriakan terpesona. Tak heran jika sepak bola memiliki banyak penggemar, dari semua lapisan masyarakat. Dan sebagai sebuah olah-raga yang inklusif, olah raga ini acap kali digunakan sebagai sarana untuk pernyataan politik.
Sepak bola itu permainan yang indah, akan tetapi rumit. Rumit dalam hal ini adalah komponen dari sebuah pertandinganyang bisa dipecah-pecah yang menentukan kemenangan sebuah tim. Untuk alasan itulah hingga sampai saat ini, yang memiliki korelasi besar terhadap keunggulan sebuah tim adalah banyaknya uang yang dimiliki oleh klub tersebut. Inovasi dalam permainan bola saat ini adalah bagaimana agar klub bola bisa dimiliki oleh oligarki pemegang uang, seperti negara-negara Timur Tengah.
Dalam paper yang ditulis ulang oleh Stefan Szymanski, seorang ekonom olah-raga, menjelaskan bahwa untuk season yang dimulai dari tahun 2007 sampai dengan 2016, gaji pemain masih menerangkan 90% dari performa team.
Bagaimana dengan 10 persen nya? Saya tidak tahu, mungkin keberuntungan.
Satu lapangan bola bisa diibaratkan seperti permainan foosball. Ada tiga barisan. Barisan bagian pertama adalah bagian pertahanan, bagian kedua adalah bagian tengah dan bagian ketiga adalah bagian penyerangan. Untuk menang permainan ini, pada dasarnya sebuah  team perlu untuk menembus tiga bagian ini sampai bola masuk ke gawang.
Seorang penyerang akan berfikir seperti ini, "Bagaimana saya bisa menendang bola atau menciptakan peluang agar bola masuk dalam kotak goal?". Untuk bagian pertahanan, cara berfikirnya adalah, "Bagaimana saya bisa menghancurkan serangan lawan sehingga tidak tercipta goal?". Sedangkan bagian lini tengah adalah untuk membawa bola dari belakang ke depan, agar penyerang bisa menyarangkan goal.
Bagaimana untuk mengukur kontribusi setiap bagian ini dan juga pemainnya? Untuk mengukur nilai dari tiap pemain ini, beberapa metode pernah dibuat. Karun Singh, seorang ahli komputer dan artificial intelligence dan seorang pengamat bola amatir memperkenalkan sebuah metrics yang bernama Expected Threat (xT), sebuah proyek iseng yang membuat dia jadi terkenal dan di undang untuk berbicara di banyak konferensi olah raga.
Perhitungan xT ini adalah dengan membagi lapangan sepak bola menjadi kotak-kotak kecil berukuran berjumlah 150. Setiap kotak akan memiliki skor, berapa persen kemungkinan akan terjadi goal dalam lima operan ke depan.
Secara intuitif, skor persentase paling tinggi adalah skor di sekitar area gawang. Untuk mengukur sebuah operan bernilai tinggi atau enggak, kita tinggal hitung perbedaan skor dari kotak ketika membuat operan dan dimana bola akan berhenti. Jadi kalau misalnya seorang pemain mengoper bola dari zona 1 percent ke zona 9 percent, pemain tersebut akan mendapat skor xT sebesar 0,08 karena telah berhasil menaikkan kemungkinan untuk membuat goal sebesar 8 persen.
Meskipun banyak insights yang bisa di ambil dari perhitungan ini, sayangnya, metode ini agak problematik, karena kurang memperhitungkan kontribusi pemain gelandang. Ketika seorang pemain gelandang mampu mengoper bola dari zona 1 persen ke zona 1.4 persen, kontribusi mereka hanya 0,004. Ini sangat berbeda dengan pemain penyerang yang bisa mengoper ke area berbahaya dengan skor yang tinggi.