Darby Hart, seorang hacker dan penulis terkenal, tidak menyangka mantan kekasihnya meninggal dengan mengenaskan di suatu tempat di ujung dunia. Siapa-siapa kira-kira pelakunya?
Ethan Hunt, bersama timnya berjibaku untuk mendapatkan pasangan kunci yang akan membuka kotak Pandora. Musuh lamanya muncul kembali, dengan dibantu oleh Entity, yang bisa memprediksi yang akan dilakukan oleh Ethan Hunt selenjutnya. Siapa kira-kira Entity itu?
Kedua kisah tersebut berasal dari sebuah serial dan film yang menegangkan, akan tetapi memiliki tema yang sama. Musuhnya sama-sama artifial intelligence, kecerdasan buatan yang tidak terkontrol. Memang, sudah banyak film selain A Murder at the End of the World dan Mission Impossible - Dead Reckoning Part One (MI 7) yang menggambarkan AI sebagai sebuah program yang bisa jalan sendiri dan ingin menguasai manusia. Misalnya film Terminator, dimana robot dengan kecerdasan ini ingin menguasai manusia, atau The Matrix sebuah program cerdas yang memasukkan manusia dalam simulasi tanpa menyadari sambil di gunakan sebagai sumber energi.
Dalam film, digambarkan artifial inteligence bagai makhluk cerdas yang bisa berpikir sendiri. Artificial intelligence dalam film digambarkan dalam kutub ekstrem. Mereka menyerang manusia dan manusia secara sadar menyadari bahwa mereka harus melawan. Pada kenyataannya, sepertinya mustahil articial intelligence untuk sampai menyerang manusia, karena pada dasarnya kecerdasan buatan ini dirancang membuat hidup manusia lebih mudah.
Lihatlah robot yang dibuat untuk membantu manusia bekerja lebih efisien, misalnya seperti dipakai di gudang Amazon ntuk memudahkan invetaris dan mengefisienkan pengiriman. Ataupun mobil robot keluaran Tesla yang bisa menjalankan mobil secara otomatis ke tempat tujuan. Bahkan baru-baru ini, Elon Musk membuat robot Optimus yang bisa berinteraksi dengan manusia dengan cukup "manusiawi".
Sebenarnya, produk kecerdasan buatan sudah cukup mainstream dan dipakai oleh banyak orang. Contohnya copilot, sebuah alat yang sangat membantu programmer untuk membuat program dengan lebih cepat. Hanya dengan mengetikkan prompt, sebuah deskripsi dengan bahasa manusia mengenai apa yang harus dilakukan oleh program tersebut, copilot akan mengetikan kode program yang langsung bisa dijalankan oleh programmer. Programmer tidak perlu lagi mengetik program perintah komputer dari awal.
Dalam wawancara teknis untuk data analisis, banyak Gen-Z yang saya wawancara menggunakan ChatGPT untuk membuat script atau kode perintah untuk menjawab persoalan yang diajukan. Saya sendiri menggunakan ChatGPT untuk membantu saya membuat kode perintah untuk pengolahan data.
Artificial intelligence juga sudah dimasukkan dalam produk-produk digital, baik produk komersial maupun layanan gratisan media sosial. Youtube misalnya, memiliki kecerdasan buatan yang akan merekomendasikan konten yang diminati oleh pengguna layanan. Mesin rekomendasi ini sangat sensitive karena setelah membuka video dengan tema tertentu, dalam waktu cepat, lini masa dari Youtube saya berisi mengenai konten yang satu tema dengan video yang saya buka.
Penggunaan kecerdasan buatan yang sangat majemuk ini bagaikan pedang bermata dua. Ketika kita terlalu bergantung ke artificial intelligence, maka akan timbul efek yang membuat kita menjadi malas. Ketika seorang progammer terlalu bergantung dengan copilot untuk membuat program, otak menjadi jadi malas untuk berfikir kreatif memecahkan masalah. Apalagi kalau dasar logika dan pemrograman tidak kuat, softwarenya memang jadi akan tetapi mungkin tidak optimal.
Untuk seorang data analis yang berkutat dengan data processing, kode yang disarankan mungkin akan membantu untuk mengolah data, akan tetapi tanpa pengetahuan seperti statistik dan pengolahan data, kode yang dihasilkan bisa tidak optimal dan hasil pengolahannya tidak masuk akal secara statistik. Tanpa fundamental yang kuat, siapa yang bisa melakukan pengecekan?