Mohon tunggu...
Dessy Purbandari
Dessy Purbandari Mohon Tunggu... -

Writing is my life Senang menuangkan segalanya dalam bentuk tulisan :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bocah Itu

8 Desember 2013   15:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:10 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Kali ini saya akan membagi-bagikan postingan berupa salah satu cerpen bergenre horor saya yang alhamdulilah udah berhasil nembus di penerbitan indie.
Seram? Gak juga. Gak banget malah. Gak ada serem-seremnya sama sekali kalau saya bilang. Mungkin faktor utama dari masalah pemilihan hantunya itu sendiri yang memang dak terlalu serem.
But, anyway your opinions still yours. I will be happy if you read it and give suggestions, critics, review so i can be more better then.

Bocah Itu
Lea tengah menunduk mencuci tangan di wastafel ketika mendadak ia merasakan sesuatu merayap di celananya. Bulu kuduknya meremang. Perasaannya tak enak.
Dilihatnya cermin. Nihil. Tak ada siapa pun di belakang. Ia kembali menunduk mencuci tangan. Tapi ‘sesuatu’ yang serupa jari itu semakin kencang merayap di celana jeansnya.
Lea segera berbalik. Matanya membola menemukan seorang anak kecil botak tengah merogoh-rogoh saku celana jeansnya. Kepalanya yang benar-benar plontos terlihat berkilau tertimpa cahaya lampu. Bocah itu terlihat kesulitan menarik sesuatu dari dalam saku celana jeans Lea yang memang cukup ketat. Tampaknya tangan kurus itu tersangkut di sana.
“Apa yang kaulakukan, bocah!” pekik Lea sejadi-jadinya.
Bocah lelaki itu terlonjak kaget. Wajahnya menengadah menatap Lea dengan pandangan heran. Seolah ia tak menyangka akan tertangkap basah ketika mencuri.
Lea mengamati keganjilan pada wajah bocah itu. Mata dan telinganya lebar serupa kelelawar. Seram sekali. Secara refleks langsung dipukulnya tangan yang masih bersarang di saku jeansnya. Lea geram bukan main karena tangan itu telah lancang menyentuh kakinya.
“PERGIIIIII!” hardiknya keras.
Dengan gopoh bocah itu berlari keluar toilet. Kaki-kakinya yang tak beralas bergerak dengan kecepatan luar biasa bagai angin melesat. Tanpa Lea sadari ia pun ikut berlari keluar toilet mengejar bocah itu. Namun sekeluarnya dari toilet bocah itu telah lenyap.
Sambil terus bergerak mengawasi, Lea berjalan menuju mejanya.
“Mukamu kok pucat, Lea?” tanya Arin cemas.
“Hah … gak … gak,” jawab Lea terbata. Pandangannya tak fokus.
“Tapi mukamu pucat banget, Lea.”
Lea diam. Matanya menerawang ke bawah. Mendadak ia mendongak menatap Arin. “Kamu gak lihat ada bocah keluar dari toilet? Tadi?”
Arin mengerutkan alisnya, bingung. “Gak ada. Bukannya cuma kamu yang keluar dari sana tadi?” Arin balik bertanya.
Dengan suara tercekat, Lea bersuara. “Bo-bocah. Laki-laki. Pakai celana kolor hitam doang.” Arin menatapnya heran. “Masa kamu gak liat, Rin?”
Arin menggeleng pelan tanpa berkedip. Lea mencoba berpikir positif. Mungkin Arin memang tidak sedang melihat ke arah toilet ketika bocah itu keluar. Ya, mungkin saja Arin tidak sedang melihatnya. Mungkin saja …

Lea menoleh ke balik dinding kaca. Di luar tampak mobil putih bergerak pelan menuju tempat parkir depan restoran tempat ia makan. Matanya mengikuti ketika satu persatu anggota keluarga besar dari dalam mobil itu keluar. Ketika sesosok laki-laki bertubuh besar muncul belakangan dari balik kursi pengemudi, Lea menyadari ada keganjilan di antara kerumunan itu. Ia melihat, walau sekilas, sepasang kaki tanpa alas bergerilya di antara mereka. Tangan-tangan kurus berbungkus kulit itu menyelinap di saku celana lelaki tadi.
Suara Lea kembali tercekat. Ia ingin berteriak memperingatkan tapi tak bisa. Suaranya seolah diredam pembatas kaca di depannya. Lagi, anak itu kembali memasukkan tangannya dengan sangat mudah di antara kerumunan itu. Dan anehnya mereka santai-santai saja.
Lea sudah akan bangkit untuk mengejar bocah nakal itu, namun langkahnya berhenti di udara. Bocah itu menoleh ke arahnya. Menatapnya lalu menyeringai. Kerutan-kerutan tipis terlihat jelas ketika bocah itu menaikkan bibirnya dengan ukuran tak wajar. Kini wajah itu bukanlah wajah anak-anak lagi, melainkan wajah kakek tua yang terperangkap dalam tubuh anak-anak. Makhluk itu mengangkat sebelah tangannya lalu membentuk huruf V dengan jari-jarinya.
‘Hai, kakak ….’ (*)
Terimakasih telah membaca. Gracias. Hasta La Vista :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun